Jumat, 22 Juni 2007

The Winning Or The Lost Generation

The Winning or The Lost Generation

Jiwa-jiwa qurani yang dibina oleh Murabbi sempurna itulah yang kemudian bergerak mengukir sejarah kegemilangan peradaban manusia. Namun sunnah sejarah pun berlaku, ketika manusia meninggalkan minhaj acuan, maka mereka meluncur kembali menjadi bangsa yang rusak. Walau mereka membawa nama Islam, tetapi mereka tidak mampu menampilkan semangat dan amal Islam.

Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia manapun, kecuali sejarah Islam, dimana begitu banyak orang dengan segala kepribadian yang cenderung sempurna, di satu tempat dan satu waktu. Itulah masa dikala Rasulullah dan para shahabat mulia hidup. Di masa itu ada Abu Bakar yang bergelar al-Shiddiq (yang benar), ada pula Umar bin Khattab yang berjuluk al-Faruq.

Ada juga Bilal bin Rabbah yang digelari Muazzin al-Rasul, Khalid bin Walid yang digelari Saif Allah (pedang Allah) dan Ali bin Abi Thalib yang bergelar Asad Allah (singa Allah) serta banyak lainnya. Mereka semua adalah pribadi-pribadi sempurna yang sulit dicari bandingannya hingga hari ini, bahkan satu sosok di antara mereka sekalipun. Wajar jika Sayyid Qutbh dalam bukunya Ma’alim fi al-Thariq (Petunjuk Jalan) mengatakan bahwa kenyataan sejarah itu sampai sekarang ini belum pernah terulang kembali, bahkan dalam sejarah dakwah Islam sekalipun. Konon lagi dalam sejarah manusia.

Ada beberapa kelebihan generasi pertama itu. Satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa guru besar mereka waktu itu adalah Muhammad saw, sang manusia reformis dengan segala kesempurnaan pribadi manusia. Al Quran menyebutkan dirinya sebagai uswah hasanah (teladan yang baik) (al Ahzab : 21). Guru agung ini telah mengantarkan manusia yang semula memiliki paradigma berfikir dan beramal barbar menjadi manusia santun. Tarbiyah yang dilakukannya bukanlah tarbiyah utopia (pembinaan utopis) yang melangit, tetapi tarbiyah aplikatif yang membumi pada nilai-nilai Al-Quran. Ia mengajari manusia dengan minhaj yang jelas dan tegas serta tetap pada nilai yang diperjuangkan. Ia telah mengubah paradigma berfikir dan paradigma merasa manusia, ia mengajari manusia untuk tunduk hatinya kepada Allah, suatu ketundukan yang total yang dibuktikan dengan keikhlasan dan ketulusan mengikuti syariah Allah swt dengan benar, utuh dan konsisten. (an Nisa : 65)

Muhammad saw telah merubah umat manusia bukan dengan menonjolkan keakuannya, tetapi dengan sistem Rabbani (al Baqarah : 138). Minhaj Rabbani itulah yang merupakan rahasia besar perubahan umat manusia waktu itu. Di sinilah rahasia besar, mengapa minhaj Rabbani (Al-Quran) itu tetap terpelihara sampai kini dan kapanpun. Oleh karena ia telah ditetapkan sebagai kitab acuan revolusi kemanusiaan.

Terhadap Al-Quran ini generasi pertama ini memiliki sedikitnya tiga keutamaan. Pertama Al-Quran adalah satu-satunya sumber pengambilan mereka, standar yang menjadi ukuran mereka dan tempat dasar mereka berfikir. Kedua Al-Quran bukanlah tujuan menambah pengetahuan dan memperluas pandangan. Bukan dengan tujuan menikmati keindahan sastranya, atau lainnya, melainkan mereka mempelajari Al-Quran untuk menerima perintah Allah swt tentang urusan pribadi mereka, urusan golongan dan persoalan hidup yang mereka hadapi. Perintah itu didengar dan segera dilaksanakan. Sikap mereka terhadap Al-Quran laksana prajurit yang mendengar perintah komandannya. Ketiga yang terpenting, setelah menyatakan keislaman mereka, merekapun meninggalkan segala paradigma dan perilaku lama. Mereka melakukan pemisahan total antara masa jahiliyah dengan masa setelah menerima Islam. mufasholah (pemisahan) itu berlaku dalam segala sisinya.

Jiwa-jiwa qurani yang dibina oleh Murabbi sempurna itulah yang kemudian bergerak mengukir sejarah kegemilangan peradaban manusia. Namun sunnah sejarah pun berlaku, ketika manusia meninggalkan minhaj acuan, maka mereka meluncur kembali menjadi bangsa yang rusak. Walau mereka membawa nama Islam, tetapi mereka tidak mampu menampilkan semangat dan amal Islam. generasi pertama tinggal sejarah yang diratapi, dianalisa sebab muncul dan tenggelamnya, bahkan tidak sedikit yang mengkritiknya. Walaupun tahu atau tidak tahu mereka sendiri sebenarnya tidak ada arti apa-apa dibanding generasi pertama tersebut. Generasi pertama itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

· Salimul Aqidah, dapat dikatakan bahwa ini adalah dasar dari segala aktifitas hidup. Ia merupakan hal yang mendasari lahirnya keyakinan atau perbuatan. Ia adalah sesuatu yang harus dibangun sebelum akhirnya seorang muslim membentuk paradigma prinsip atau visi hidupnya. Kepribadian aktual dari seorang muslim yang memiliki karakter ini adalah ketundukan total kepada Allah Swt, serta kesadarannya bahwa dirinya adalah sub sistem dari sistem kesemestaan yang bercirikan keteraturan, keseimbangan, dan keadilan. Seorang muslim dengan karakter ini menjadi merdeka dari kultus individu, bebas dari takut kepada selain Allah, jujur dan merasakan kebesertaan (ma’iyatullah) dalam segala aktifitas hidupnya.

· Shohihul ibadah, visi atau prinsip hidup seseorang tidak akan berarti tanpa ada bukti kerja. Disinilah kualitas kerja harus merupakan kualitas yang “paling” - dalam maknanya yang positif – di antara makhluk. Oleh karena mereka dicitrakan sebagai “the best generation”. Tidak ada satu aktifitas muslimpun yang berlangsung serampangan. Mereka harus melakukannya dengan ukuran high quality, baik dalam ukuran pribadinya, keluarganya, pekerjaannya, serta keterlibatannya dalam urusan sosial kemasyarakatan. Visi ibadah muslim adalah “fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah”. Hasanah maksudnya adalah segala kebaikan yang dirindukan diperoleh oleh setiap manusia. Sementara alat ukur ibadah tentunya adalah sesuatu yang direkomendasi dalam Islam, Al Qur’an dan As Sunnah.

· Matinul Khuluq, Apapun yang dibicarakan dalam Islam, seperti apapun pengajaran yang dilakukan, out put yang diinginkan adalah terbentuknya seorang manusia dengan akhlak terpuji. Terpuji dalam segala sisinya yang meliputi dirinya sendiri, kehadirannya dalam keluarga, masyarakat, kerja, dan lainnya. Seorang muslim akhirnya harus menjadi contoh teladan. Kebaikan kerjanya tidak boleh kebetulan atau sekali-kali. Ia harus berlangsung terusmenerus (istiqamah). Oleh karena permanennya tujuan kerja secara umum.

· Mutsaqqaful fikri, seorang muslim haruslah mereka yang up to date every where and everytime. Oleh karenanya ia harus terus menerus membekali dirinya dengan segala pengetahuan zamannya. Dengan kata lain seorang muslim yang baik adalah mereka yang harus membekali diri dengan kemampuan intelektual maupun emosional yang mumpuni. Yang dengannya mereka dapat menjalankan peran sejarah mereka dengan benar. Mereka harus memperhatikan muatan ilmu wajib –baik wajib ain maupun wajib kifayah- yang harus mereka penuhi.

· Qawiyyul Jism, terdapat berita bahwa Rasululllah Saw jika melakukan sholat malam selalu berlangsung lama, bahkan sampai menjelang pagi. Ia Saw juga dikenal sebagai orang yang kuat. Terbukti dari ia pernah mengalahkan pegulat tangguh, memecah batu yang tak sanggup dipecahkan sahabat ra dengan palu, ataupun berjalan demikian jauhnya tanpa keletihan. Dimana letak kekuatannya? Saya pikir ada jawaban rasional yang harus kita gali, yaitu pola makan, pola istirahat, dan pola kerja Rasulullah Saw. Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa “muslim yang kuat lebih disukai ketimbang muslim yang lemah”.

· Qadirun ‘alal kasbi, muslim yang baik adalah mereka yang tidak cengeng. Mereka haruslah menjadi orang yang dapat mengubah hambatan, kesulitan, ataupun ketakberdayaan menjadi peluang kesuksesan. Ia bukan orang yang cepat panik ketika menemukan orang lain lebih baik atau buruk darinya. Tapi ia sangat sadar dengan kemampuan dirinya, dan pintar menggunakannya guna merebut peluang yang mungkin diraih. Allah Saw mengatakan, “Bekerjalah, karena Allah akan melihat kerjamu...”, “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri yang (memulai) untuk merubah diri mereka.”, “Seseorang tidak dibebani (tanggungjawab) kecuali dari apa yang diusahakannya.” Berbagai pesan Rabbani itu menegaskan bahwa seorang muslim harus mandiri. Dirinya sendiri yang sebenarnya menentukan sukses atau tidak hidupnya. Kita tidak mungkin menuntut orang lain untuk membahagiakan kita, tapi tebarlah kebahagiaan di antara orang lain. InsyaAllah kita akan menuai kebahagiaan pula. Pantang bagi seorang muslim mengambil rezki dengan cara yang haram, karena sama saja itu artinya ia memungkiri atau menipu dirinya sendiri. Bahkan sama saja artinya ia merampas yang bukan haknya. Ketika ia menyadari bahwa bekerja adalah beribadah, maka ia akan fokus kepada kerja yang benar.

· Mujahidun linafsihi, Muslim sadar bahwa berpuas diri bukanlah wataknya. Oleh karena itu ia terus menerus melakukan peningkatan diri. Kegagalan tidak menyebabkannya frustasi. Tapi disikapinya sebagai pecutan menuju sukses. Seorang muslim sangat sadar bahwa tidak ada satupun kerja sukses yang dapat dilakukan sendiri, tapi harus melalui kerja tim. Oleh karena itu ia tidak risih dengan saran perbaikan dirinya darimanapun datangnya. Puas adalah kata lain dari stagnan, berhenti untuk maju. Dulu Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan, “Allah telah mengkaruniakan jabatan sebagai khalifah kepadaku. Sementara tidak ada jabatan yang lebih tinggi dari itu yang dirindukan manusia. Namun aku masih menginginkan karunia yang lain, yaitu Syurga dan ridho-Nya.” Tentunya semua itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan kesungguhan.

· Munazhzhamun fi Syu’unihi, pekerjaan ataupun ucapan muslim haruslah rapi, tertib, dan teratur. Seorang muslim tidak boleh serampangan dalam segala hal. Karena itu hanya akan menyusahkan dirinya sendiri. Dan berakibat pada buruknya citra dirinya serta hilangnya kepercayaan orang lain terhadap dirinya.

· Harishun ‘ala waqtihi, “waktu adalah kehidupan”, demikian kata Hasan al Banna. Oleh karena itu setiap muslim harus memanfaatkan waktu yang ada. Setiap hari yang baru mengandung peluang yang baru dan harus dimanfaatkan oleh setiap orang. Jika kemarin anda gagal, bukan lantas hari ini anda juga akan gagal. Hari ini adalah anda manusia yang baru yang harus bekerja dengan pikiran serta motivasi yang baru, yang tentunya lebih baik lagi. Hari kemarin adalah lembar evaluasi dan n koreksi untuk hari ini. Dengan demikian , sebenarnya semakin banyak kegagalan yang anda lakukan kemarin, maka semakin besar peluang untuk sukses hari ini. Rasulullah saw pernah bersabda, “Manusia yang hari ininya sama dengan kemarin adalah manusia yang merugi. Sedangkan yang hari ininya lebih buruk dari kemarin adalah manusia bangkrut.” Seharusnya seorang muslim menjadikan waktu yang tersedia dalam hidupnya adalah peluang sukses baginya.

· Nafi’un li ghairihi, tidak boleh ada orang yang baik sendiri. Ia harus mampu menularkan kebaikan dirinya pada lingkungan. Seorang muslim harus mampu menjadi syakhshiyyah barizah (individu berpengaruh). Pemimpin sebenarnya adalah mereka yang mampu menularkan pengaruh kepada orang lain, bukan yang secara struktural formal menduduki jabatan seorang pemimpin. Kemampuan untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekeliling dapat terjadi jika seorang muslim sudah memenuhi segala kriteria muslim yang benar. Dan ini hanya berlaku ketika ia sudah menjadi muslim yang total, total tujuannya, total sistem yang dianutnya, serta total aktifitas yang dilakukannya.

Tidak sedikit yang sebenarnya menginginkan kita merebut kembali kejayaan. Oleh karena kejayaan itu bukan hanya kejayaan kita belaka, melainkan juga merupakan kejayaan kemanusiaan. Yang misi penting ajaran Islam ini tidak terbantahkan dalam wacana manapun. Jika kita ingin mengembalikan kejayaan itu ada sedikitnya tiga hal yang harus menjadi perhatian serius dari segenap komponen Islam.

Pertama mengembalikan paradigma berfikir umat pada satu kesatuan fikir tentang seperti apa totalitas keislaman yang seharusnya. Pemikiran umat terhadap Islam tidak boleh terbelah, parsial atau lokal. Umat harus menatap Islam sebagai agama dunia yang tidak dapat diembel-embeli dengan iklim manusia. Sebutan seperti Islam Arab, Islam Indonesia, atau lainnya seharusnya tidak pernah ada. Apatah lagi sebutan Islam Indonesia yang kemudian dipertanyakan lagi. Jika ditanya “Islam Indonesia yang mana?” maka selanjutnya dijawab “Islam jawa”. Selanjutya “Jawa yang mana?” dijawab “Islam orang Madura”. Dilanjutkan lagi “Madura Sampang atau Pamekasan?” rentetan itu akhirnya akan berakhir dengan sebuah teori bahwa Islam itu sangatlah subjektif, tergantung pada bagaimana masing-masing manusia Islam merespon agamanya itu. Tentu saja hal ini menyesatkan, oleh karena secara sadar atau tidak telah menjebak Islam pada bagian sebuah proses budaya manusia belaka.

Islam adalah Islam, yang jika ia mensibghohi (mewarnai) manusia dengan cahayanya, maka akan muncul manusia dengan karakter yang unik. Kita layak mengkhawatirkan bahwa ide Islam yang dimiliki para pejuang Islam sebenarnya adalah kristalisasi pemahaman terhadap pemahaman bahwa Islam adalah solusi. Inilah yang saya maksudkan bahwa target marhalah pertama ini adalah terbentuknya manusia yang sadar Islam, cinta Islam, dan berbuat Islam.

Kedua transformasi Islam dalam segala seginya. Hal ini tidak mungkin tidak dengan memotivasi siapa saja yang telah tulus mengusung label Islam untuk meligitimasi skill (keahlian) dirinya untuk berdaya. Masalah kita oleh karena kita mengira Islam adalah agama keselamatan akhirat belaka. Maka banyak amal kita hanya “membujuk-bujuk Allah” agar memberikan akhirat yang terbaik untuk kita. Padahal harus kita ketahui ada tugas khalifah yang bahkan merupakan awal cerita sejarah manusia di muka jagad ini. oleh karena itu manusia Islam harus menjadikan Islam sebagai semangat atau etik dari segala lini aktifitas hidup manusia. Faktanya hari ini kita masih lemah di segala lini. Baik pendidikan, ekonomi, budaya, sosial kemasyarakatan, politik dan spiritual kita sedang mengalami kemunduran. Tidak hanya itu, kita malah saling bertengkar bukan untuk mendukung Islam, tetapi mendukung kepentingan kita pada Islam.

Ketiga, dibangun jalinan koordinatif segala kelompok yang memiliki kepentingan yang sama dengan masing-masingnya menawarkan kelebihan. Alas fikirnya adalah bahwa tidak ada satupun manusia hero atau jamaah super yang dapat menyelesaikan masalah ini secara sendirip-sendiri.

Walhasil, segala tahapan dimaksud hanya dapat dilakukan di bawah koordinasi tarbiyah minjahiah yang fokus utamanya adalah Al-Quran, sunnah dan perilaku salaf yang menghubungkan diri mereka dengan Al-Quran. Jika tetap juga bertengkar dan membanggakan kelompok sendiri, maka wajar jika Anda disebut umat brengsek.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: