Jumat, 22 Juni 2007

Muslim Kreatif

Muslim Kreatif

Oleh: A. Latif Khan

Masyarakat muslim seharusnya menjadi contoh manusia dalam segala hal. Dikatakan “seharusnya” karena sekarang ini umat Islam memang sedang mengalami masalah dalam segala hal. Nyaris tidak ada satu prestasi apapun yang dapat dibanggakan dewasa ini. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Ummatuna Baina Qarnain mengatakan bahwa sepanjang abad kedua puluh ini tidak ada satupun penemuan teknologi yang berasal dari kalangan umat Islam.

Kondisi umat Islam sekarang memang sangat parah, mereka tidak hanya sedang mengalami masalah dalam pelaksanaan tugas kekhilafahan yang diamanahkan Allah, tapi juga tercecer dalam pelaksanaan tugas kehambaannya. Dalam tugas kekhalifahan, mereka mengekor di belakang budaya sekuler. Sementara pesan spiritual agama semakin kering, sehingga umat Islam tidak punya prioritas terhadap pesan Islam sendiri.

Kesuksesan generasi pertama dalam menata dunia dengan Islam seperti mimpi yang mustahil terwujud. Padahal segala sarana yang telah menjadikan mereka sukses masih di miliki, bahkan masih lengkap dan asli seperti awalnya. Umat Islam dewasa ini hidup dalam alam angan-angan. Tidak ada yang salah dalam minhaj Islam, Al Quran tetap merupakan ajaran yang terpelihara dan membuat pesan-pesan cerdas menuju sukses. Tapi bagaimana mungkin pesan cerdas tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna jika pengembannya sedang menghadapi masalah pada mentalitas.

Etos Kerja Umat Islam Lemah

Akar masalahnya adalah ketika umat Islam kehilangan kemampuan menerima atau merespon Islam secara utuh dan integral. Di samping itu pun mereka tidak mendekati Islam sebagai sebuah sistem yang pasti, yang membuat mereka sukses di dunia dan sekaligus selamat di akhirat. Akibatnya umat mengalami confuse. Tidak sedikit mereka yang serius menunjukkan kesalehan ketika dihadapkan kepada pilihan surga dan neraka. Tetapi menjadi begitu jahatnya ketika dihadapkan pada pilihan kaya-miskin, untung-rugi, atau senang-susah. Ummat terjebak pada pemahaman yang salah, bahwa dunia adalah satu sisi, sementara akhirat adalah sisi yang lain. Keduanya sangat kontras yang mustahil dapat digapai secara berbarengan. Kesalahan fatal yang terjadi adalah ketika ummat menempatkan Islam sebagai sekedar “tiket” untuk masuk syurga. Sementara dalam kehidupan dunia, Islam tidak memiliki urusan sedikitpun. Oleh karenanya tidak mengherankan jika masih saja ditemukan orang yang selalu gagal menterjemahkan kesalehannya ketika ia berada di wilayah aktifitas dunia, seperti bekerja ataupun bersenang-senang. Banyak orang mengira bahwa pekerja yang saleh adalah mereka yang meletakkan al Qur’an di meja kerjanya, atau memelihara atribut atau simbol Islam pada dirinya. Pemahaman seperti ini akan menyebabkan seseorang tidak dapat tampil saleh secara utuh dan integral. Ada orang yang saleh secara pribadi tapi fasiq, kufur, atau zalim dalam kehidupan sosialnya. Ada orang yang begitu taatnya pergi sholat di awal waktu dan dalam jamaah, namun tidak mampu berkualitas dalam pekerjaannya. Atau lebih ekstrem lagi, seseorang dapat saja rajin zikir dan baca al Qur’an, namun rajin pula melakukan kezaliman dalam aktifitas pekerjaannya.

Ummar akhirnya selalu gagal menterjemahkan diri mereka sebagai “The best generation”. Kekayaan spritual yang mereka miliki tidak mampu diimbangi dengan pemberdayaan material dalam hidup mereka. Ummat selalu saja kalah jika dibandingkan dengan mereka yang tidak menganut Islam sebagai ideologi hidup. Oleh karenanya, secara kolektif umat Islam berada pada posisi inferior, tidak sedikit mereka yang akhirnya berlindung dibalik pesan hadist yang disalahmaknakan, “Dunia adalah surga bagi orang kafir dan penjara bagi oarang mukmin”. Hadist ini diartikan bahwa surga umat Islam nanti di akhirat. Jika dalam kehidupan dunia ini mereka miskin, lemah, ataupun bodoh maka mereka harus bersabar. Padahal makna hadist itu adalah bahwa sesukses-suksesnya orang Islam dalam kehidupan dunia ini belum apa-apa dibanding dengan janji keuntungan atau kebahagiaan yang Allah sediakan di akhirat. Sementara semiskin-miskinnya orang kafir itu sudah merupakan kebahagiaan bagi mereka karena di akhirat Allah tinggal menyediakan azab saja untuk mereka. Karena kesalahan memahami hadist tersebut menyebabkan banyak umat Islam berfikiran negatif tentang kaya, senang, harta-benda dan segala hal yang berkonotasi dengan dunia. Padahal Nabi saw pernah berpesan bahwa dunia adalah sawah dan ladang bagi kehidupan di akhirat.

Rahasia Sukses Generasi Teladan

Awal mula kesuksesan itu dimulai dari pribadi nabi yang integral. Beliau adalah teladan yang memiliki segala kemampuan IQ, SQ, EQ, AQ, dan ESQ. Beliau adalah ayah sekaligus suami, teman, pemimpin perang dan sekaligus imam. Beliau demikian kehidupannya, yang tidak ada satu sisipun kehidupannya yang cacat. Semua sisi kehidupannya adalah kebaikan. Nabi saw menekankan bahwa kemuliaan seseorang terletak kepada ketaqwaannya, bukan pada kekayaan, kecantikan ataupun kekuasaannya. Doktrin ini seharusnya membangun citra kompetitif di kalangan umat Islam. Bahwa siapapun di antara kita tidak memiliki kehebatan apapun di hadapan Allah, jika kita tidak memiliki ketaqwaan. Kita tahu betul bahwa kemuliaan tidak terletak pada segala “tetek bengek” kemuliaan dunia, tetapi pada ketaqwaan. Dan itu sangat bergantung pada kemampuan kerja kita mengolah hidup kita menjadi lebih bernilai taqwa. Kita harus sadar bahwa bahwa Syurga tidak “dijual” kepada mereka yang menyendiri, cuek dengan segala aktifitas hidup dunia, menganggap dunia hina dan nista. Suatu hari dulu Rasulullah Saw pernah mencium tangan seorang laki-laki yang sama sekali tidak dikenal para sahabat ra. Sampai-sampai mereka saling menduga bahwa mungkin saja laki-laki itu nabi atau wali. Apalagi sambil mencium tangan lelaki itu Rasulullah Saw sambil mengucapkan kalimat “Ini adalah tangan penghuni syurga”. Ternyata ketika dikonfirmasi kepada Rasulullah saw. Beliau Saw menjawab, bahwa lelaki itu adalah seorang biasa yang setiap pagi selalu pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu yang diperolehnya dijualnya ke pasar. Dan itulah yang dijadikannya sebagai biaya nafkah untuk keluarganya. Tidak Sekalipun lelaki itu pernah mencari atau membawa jerih payah haram untuk keluarganya. Karena itulah Allah akan memasukkannya ke dalam syurga. Ternyata illustrasi indah itu menunjukkan bahwa syurga tidak hanya dimasuki oleh mereka yang hanya saleh secara individual, tapi juga siapa saja yang memiliki kesalehan sosial dan mampu memadukan dengan kesalehan individual yang sudah dimilikinya.

Selanjutnya Rasulullah saw menekankan pentingnya visi bersama yang dapat diraih dengan cara yang relatif berbeda. Yaitu mardhatillah (Qs 2 : 107), kerinduan seorang muslim adalah kepada ridha dan syurga Allah. Dan sudah dipesankan bahwa surga hanya bisa diraih dengan mengoptimalkan jiwa dan harta di jalan Allah (Qs At Taubah : 111)

Dunia adalah ladang amal, kita dapat melakukan apa saja yang kita mau dan suka. Karena semua kerja kita menegaskan bahwa diantara begitu banyak amal yang kita lakukan ada pekerjaan yang langsung berakibat pada kita dimasukkan ke dalam surga. Generasi pertama sangat berambisi melaksanakan amal (kerja) yang ditujukan untuk memperoleh surga dan ridho Allah. Seperti jihad dan haji dijelaskan bahwa janji untuk keduanya adalah surga. Di masa generasi pertama mereka begitu tertarik melaksanakan jihad, bahkan dengan meninggalkan segala kehidupan dunia mereka. Mereka tidak takut. Karena dibalik jihad mereka itu ada cita-cita mereka yaitu berupa ridha dan surga Allah. Jika saja kesempatan untuk mendapatkan janji langsung itu tidak terbuka, maka mereka tetap saja bekerja dalam bingkai hidup mencari ridha Allah. Seorang seperti Abdul Rahman bin Auf menjalankan misi dagangnya “habis-habisan”. Ali bin Abi Thalib dalam menjalankan misi buruhnya juga “habis-habisan”. Semua dijalankan dalam semangat kerja yang Qur’ani. Semua pekerjaan langsung mendapat “gaji” dari Allah. Mereka generasi yang memahami bahwa semua aktifitas hidup mereka memiliki nilai ibadah yang dapat dijalankan sebagai bukti ketundukan kepada Allah dengan harapan memperoleh ridho dan syurga-Nya. Tidak ada satupun aktifitas hidup dunia yang dilalui mereka secara percuma. Semuanya berlangsung dalam koridor ketundukan kepada Allah yang ditandai dengan baiknya niat, proses, dan hasil kerja. Kebaikan dimaksud bukan hanya dalam ukuran hidup dunia, tapi juga bagi kehidupan akhiratnya. Paradigma prinsip seperti ini menyebabkan mereka dikenal sebagai generasi yang berkualitas tidak hanya dalam urusan besar tapi juga yang sekarang ini sering dianggap sebagai hal yang remeh.

Jika dianalisa lebih mendalam lagi, maka ditemukan bahwa keberhasilan mereka dalam membangun peradaban utama itu, adalah karena kemampuan mereka mencitrakan diri sebagai seorang muslim sejati. Citra inilah yang selayaknya hidup pada setiap muslim, siapapun dia. Sayyid Qutb menyebutkannya dengan istilah Jil al Qur’ani al Farid (Generasi Qur’an yang unik). Ada lagi yang menyebutkannya dengan syakhsyiah Islamiyah Sholihah (individu muslim yang sholih). Sholih maksudnya adalah reformis, progresif, memiliki daya inovasi, bertanggungjawab, berdedikasi, memiliki integritas yang utuh terhadap seluruh amal Islami. Dalam bahasa yang lebih populer, Mereka adalah muslim profesional dalam makna yang sesungguhnya. Ciri-ciri mereka ini dapat dilihat dalam sepuluh kriteria, yaitu:

Salimul Aqidah, dapat dikatakan bahwa ini adalah dasar dari segala kerja. Ia merupakan hal yang mendasari lahirnya keyakinan atau perbuatan. Ia adalah sesuatu yang harus dibangun sebelum akhirnya seorang muslim membentuk paradigma prinsip atau visi hidupnya. Kepribadian aktual dari seorang muslim yang memiliki karakter ini adalah ketundukan total kepada Allah Swt, serta kesadarannya bahwa dirinya adalah sub sistem dari sistem kesemestaan yang bercirikan keteraturan, keseimbangan, dan keadilan. Seorang muslim dengan karakter ini menjadi merdeka dari kultus individu, bebas dari takut kepada selain Allah, jujur dan merasakan kebesertaan (ma’iyatullah) dalam segala aktifitas hidupnya.

Shohihul ibadah, visi atau prinsip hidup seseorang tidak akan berarti tanpa ada bukti kerja. Disinilah kualitas kerja harus merupakan kualitas yang “paling” - dalam maknanya yang positif – di antara makhluk. Oleh karena mereka dicitrakan sebagai “the best generation”. Tidak ada satu aktifitas muslimpun yang berlangsung serampangan. Mereka harus melakukannya dengan ukuran high quality, baik dalam ukuran pribadinya, keluarganya, pekerjaannya, serta keterlibatannya dalam urusan sosial kemasyarakatan. Visi ibadah muslim adalah “fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah”. Hasanah maksudnya adalah segala kebaikan yang dirindukan diperoleh oleh setiap manusia. Sementara alat ukur ibadah tentunya adalah sesuatu yang direkomendasi dalam Islam, Al Qur’an dan As Sunnah.

Matinul Khuluq, Apapun yang dibicarakan dalam Islam, seperti apapun pengajaran yang dilakukan, out put yang diinginkan adalah terbentuknya seorang manusia dengan akhlak terpuji. Terpuji dalam segala sisinya yang meliputi dirinya sendiri, kehadirannya dalam keluarga, masyarakat, kerja, dan lainnya. Seorang muslim akhirnya harus menjadi contoh teladan. Kebaikan kerjanya tidak boleh kebetulan atau sekali-kali. Ia harus berlangsung terusmenerus (istiqamah). Oleh karena permanennya tujuan kerja secara umum.

Mutsaqqaful fikri, seorang muslim haruslah mereka yang up to date every where and everytime. Oleh karenanya ia harus terus menerus membekali dirinya dengan segala pengetahuan zamannya. Dengan kata lain seorang muslim yang baik adalah mereka yang harus membekali diri dengan kemampuan intelektual maupun emosional yang mumpuni. Yang dengannya mereka dapat menjalankan peran sejarah mereka dengan benar. Mereka harus memperhatikan muatan ilmu wajib –baik wajib ain maupun wajib kifayah- yang harus mereka penuhi.

Qawiyyul Jism, terdapat berita bahwa Rasululllah Saw jika melakukan sholat malam selalu berlangsung lama, bahkan sampai menjelang pagi. Ia Saw juga dikenal sebagai orang yang kuat. Terbukti dari ia pernah mengalahkan pegulat tangguh, memecah batu yang tak sanggup dipecahkan sahabat ra dengan palu, ataupun berjalan demikian jauhnya tanpa keletihan. Dimana letak kekuatannya? Saya pikir ada jawaban rasional yang harus kita gali, yaitu pola makan, pola istirahat, dan pola kerja Rasulullah Saw. Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa “muslim yang kuat lebih disukai ketimbang muslim yang lemah”.

Qadirun ‘alal kasbi, muslim yang baik adalah mereka yang tidak cengeng. Mereka haruslah menjadi orang yang dapat mengubah hambatan, kesulitan, ataupun ketakberdayaan menjadi peluang kesuksesan. Ia bukan orang yang cepat panik ketika menemukan orang lain lebih baik atau buruk darinya. Tapi ia sangat sadar dengan kemampuan dirinya, dan pintar menggunakannya guna merebut peluang yang mungkin diraih. Allah Saw mengatakan, “Bekerjalah, karena Allah akan melihat kerjamu...”, “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri yang (memulai) untuk merubah diri mereka.”, “Seseorang tidak dibebani (tanggungjawab) kecuali dari apa yang diusahakannya.” Berbagai pesan Rabbani itu menegaskan bahwa seorang muslim harus mandiri. Dirinya sendiri yang sebenarnya menentukan sukses atau tidak hidupnya. Kita tidak mungkin menuntut orang lain untuk membahagiakan kita, tapi tebarlah kebahagiaan di antara orang lain. InsyaAllah kita akan menuai kebahagiaan pula. Pantang bagi seorang muslim mengambil rezki dengan cara yang haram, karena sama saja itu artinya ia memungkiri atau menipu dirinya sendiri. Bahkan sama saja artinya ia merampas yang bukan haknya. Ketika ia menyadari bahwa bekerja adalah beribadah, maka ia akan fokus kepada kerja yang benar.

Mujahidun linafsihi, Muslim sadar bahwa berpuas diri bukanlah wataknya. Oleh karena itu ia terus menerus melakukan peningkatan diri. Kegagalan tidak menyebabkannya frustasi. Tapi disikapinya sebagai pecutan menuju sukses. Seorang muslim sangat sadar bahwa tidak ada satupun kerja sukses yang dapat dilakukan sendiri, tapi harus melalui kerja tim. Oleh karena itu ia tidak risih dengan saran perbaikan dirinya darimanapun datangnya. Puas adalah kata lain dari stagnan, berhenti untuk maju. Dulu Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan, “Allah telah mengkaruniakan jabatan sebagai khalifah kepadaku. Sementara tidak ada jabatan yang lebih tinggi dari itu yang dirindukan manusia. Namun aku masih menginginkan karunia yang lain, yaitu Syurga dan ridho-Nya.” Tentunya semua itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan kesungguhan.

Munazhzhamun fi Syu’unihi, pekerjaan ataupun ucapan muslim haruslah rapi, tertib, dan teratur. Seorang muslim tidak boleh serampangan dalam segala hal. Karena itu hanya akan menyusahkan dirinya sendiri. Dan berakibat pada buruknya citra dirinya serta hilangnya kepercayaan orang lain terhadap dirinya.

Harishun ‘ala waqtihi, “waktu adalah kehidupan”, demikian kata Hasan al Banna. Oleh karena itu setiap muslim harus memanfaatkan waktu yang ada. Setiap hari yang baru mengandung peluang yang baru dan harus dimanfaatkan oleh setiap orang. Jika kemarin anda gagal, bukan lantas hari ini anda juga akan gagal. Hari ini adalah anda manusia yang baru yang harus bekerja dengan pikiran serta motivasi yang baru, yang tentunya lebih baik lagi. Hari kemarin adalah lembar evaluasi dan n koreksi untuk hari ini. Dengan demikian , sebenarnya semakin banyak kegagalan yang anda lakukan kemarin, maka semakin besar peluang untuk sukses hari ini. Rasulullah saw pernah bersabda, “Manusia yang hari ininya sama dengan kemarin adalah manusia yang merugi. Sedangkan yang hari ininya lebih buruk dari kemarin adalah manusia bangkrut.” Seharusnya seorang muslim menjadikan waktu yang tersedia dalam hidupnya adalah peluang sukses baginya.

Nafi’un li ghairihi, tidak boleh ada orang yang baik sendiri. Ia harus mampu menularkan kebaikan dirinya pada lingkungan. Seorang muslim harus mampu menjadi syakhshiyyah barizah (individu berpengaruh). Pemimpin sebenarnya adalah mereka yang mampu menularkan pengaruh kepada orang lain, bukan yang secara struktural formal menduduki jabatan seorang pemimpin. Kemampuan untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekeliling dapat terjadi jika seorang muslim sudah memenuhi segala kriteria muslim yang benar. Dan ini hanya berlaku ketika ia sudah menjadi muslim yang total, total tujuannya, total sistem yang dianutnya, serta total aktifitas yang dilakukannya.

Jika seorang muslim sudah mampu menerapkan sepuluh kriteria prinsip dimaksud, barulah ia dapat go public. Sudah selayaknya seluruh sasaran pembinaan manusia berkualitas memperhatikan sepuluh kriteria dimaksud. Di level manapun pembinaan itu dilakukan. Oleh karena setiap muslim sebenarnya merupakan satu bagian dari satu kesatuan ummat. Muslim dengan kriteria seperti di atas itulah yang akan dengan mudah melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dengan enjoy. Oleh karena pusat prinsipnya adalah Allah Swt dengan segala janji-Nya, bukan pekerjaan itu sendiri.

Doktrin Nabi saw dalam Bekerja

Nabi saw pernah mengatakan bahwa “setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya atas apa yang kalian pimpin”. Dari pernyataan itu dapat diambil beberapa prinsip yaitu kita harus bertanggungjawab atas apa yang kita kerjakan. Kita harus mengoptimalkan semua kemampuan kita dalam bekerja, sehingga kita dapat mencapai hasil kerja yang optimal. Secara hirarki kita mungkin bukan top-leader, tetapi pada pekerjaan kita, kita adalah pemimpinnya. Dari prinsip diatas kita harus merubah paradigma bekerja selama ini bahwa kita hanya seorang karyawan biasa yang hanya makan gaji. Kita harus mengatakan bahwa kualitas kerja kita sangat ditentukan pada bagaimana kita mampu mengorganisasikan diri dalam bekerja. Kita boleh iri kepada teman sekerja kita dengan maksud suatu hari nanti kita akan mendapat prestasi seperti rekan kita atau malah akan semakin baik. Namun kita tidak diperbolehkan iri dengan kemudian diikuti dengan upaya menghancurkan keberhasilan rekan kerja kita.

Tidak mungkin kita berprestasi dengan mengabaikan kemampuan kita sendiri. Semua orang membutuhkan orang lain untuk melahirkan prestasi dirinya. Manusia sudah “diprogram” untuk kemudian tidak akan pernah mampu bekerja seorang diri dalam hidupnya. Kita adalah makhluk sosial. Yang oleh karenanya tidak pernah disuruh untuk masuk surga secara sendirian. Sehingga tidaklah dapat dikatakan bahwa kita adalah muslim yang baik jika hanya setiap malam kita bertahajjud sementara kita tidak pernah mengupayakan amr ma’ruf nahy munkar. Rasulullah Saw pernah memberi illustrasi menarik bahwa ada seseorang yang cukup tekun beribadah, namun di rumahnya seekor kucing mati kelaparan karena tidak diberinya makan, maka orang itu akan dimasukkan Allah ke dalam neraka. Kesuksesan seorang mukmin tidak boleh hanya kesuksesan dirinya, tapi harus merupakan bagian dari kesuksesan kolektif ummat Islam. Rasulullah Saw dalam sebuah munajatnya pernah mengatakan “Bagaimana ia dapat tenang jika membayangkan masih ada ummatnya yang akan masuk ke dalam neraka Allah.” Doktrin seperti itu menyebabkan seseorang tidak boleh merasa puas hanya atas keberhasilan kerja dirinya belaka. Ia harus terus menerus melakukan perbaikan, perubahan, peningkatan atas diri dan segala orang yang terkait dalam tanggungjawab diri dan kerjanya.

Seorang muslim tidak boleh sukses sendirian. Harus diupayakan bahwa yang bisa bikin sukses bukanlah “aku” tetapi “kita”. Tidak boleh ada orang yang shalih secara sendirian, namun harus ada keshalihan yang kolektif. Oleh karena itu dimanapun kita bekerja, kita harus menyadari bahwa kita tengah melakukan suatu bagian dari pekerjan besar yang digarap oleh umat Islam. Kita harus menjadi yang terbaik ditempat kerja kita, walau oleh pemberi kerja kita telah dijanjikan gaji kendati baik atau buruk pekerjaan kita. Kita harus bekerja optimal sehingga menghasilkan hasil kerja yang terbaik. Oleh karena kita bukan hanya bekerja pada suatu perusahaan atau apapun namanya hanya untuk mendapatkan gaji saja, atau hanya agar kita bisa hidup layak di dunia. Tetapi paradigmanya harus diubah bahwa dimanapun dan pada perusahaan apapun kita bekerja, sebenarnya kita sedang melaksanakan pekerjaan yang sangat menentukan nasib kita di tangan Tuhan.

Oleh karenanya seorang muslim haruslah bekerja dengan visi. Rasulullah saw mengatakan bahwa “sesungguhnya amal itu harus didahului dengan niat. Seseorang akan ditentukan dengan apa yang diniatkannya”. Hadist ini tidak boleh “dijebak” dalam urusan fikih belaka.hadist ini diucapkan oleh Rasulullah saw dalam konteks hijrah. Hijrah dari pilihan suka atau tidak suka, baik atau buruk dan bahkan Islam atau kafir. Dalam konteks global pesan hadist tersebut adalah bahwa niat adalah visi, dan niat adalah target dalam bekerja. Mustahil kita akan memperoleh kesuksesan dalam bekerja sementara kita tidak memiliki visi atau target dalam pekerjaan tersebut. Jika kita telah menetapkan niat kita dalam pekerjaan, maka secara otomatis akan terbuka segala sarana untuk meraih hasil. Sayangnya kita lebih sering repot dalam urusan hapal niat ketimbang substansinya.

Surga dan sukses tidak akan kita raih hanya dengan berdiam dan berangan-angan. Kita harus bekerja, kita harus dinamis. Quran adalah pesan yang hidup dan dinamis. Ia merespon semua zaman dan tempat, bukan karena zaman atau tempatnya, tetapi karena manusia yang hidup di setiap zaman dan tempat itu. Kebaikan kita tidak ditandai pada prestasi kita di masa lalu atau rencana sukses di masa depan. Tetapi kebaikan kita ditandai dengan apa yang dapat kita lakukan sekarang, dan disini.

Titik Persinggahan

Secara sederhana tentunya perlu mengutarakan apa saja yang harus dilakukan oleh seorang pekerja sehingga pekerjaannya menghasilkan dua keuntungan yang jelas, yaitu keuntungan dunia berupa cerahnya ruang atau celah karier. Sementara keuntungan akhirat berupa diperolehnya janji Allah berupa syurga dan ridho-Nya.

Harus dipahami bahwa Islam adalah sistem yang paling utuh dan menyeluruh (syamil). Ia adalah sebuah sistem yang datang dari Dzat yang paling mengetahui manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Islam merespon semua urusan manusia dari urusan kecil sampai besar, usia muda sampai tua, sendiri atau di tengah keramaian. Atau dengan kata lain segala apa yang terkait dengan manusia, Islam memiliki ajaran yang mengaturnya.

Seorang manusia tidak layak membuat dikotomi dalam hidupnya. Dengan mengatakan bahwa ini adalah urusan dunia, sementara itu urusan akhirat. Padahal tidak ada satupun urusan dunia kecuali akan dipertanggungjawabkan diakhirat. Rasulullah Saw pernah membuat pengajaran pada kita bahwa ada seorang yang disiksa kubur cuma tidak benar istinjak.

Setiap orang seharusnya menyadari bahwa apapun pekerjaan yang dilakukannya adalah peluang yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya guna merebut ridho Allah. Bahkan sampai urusan hubungan suami istri sekalipun, masih disebut sebagai ibadah. Apalagi ruang aktifitas yang lebih luas dan rumit dari itu.

Oleh karena seorang muslim adalah bagian dari komunitas muslimin umumnya, maka setiap pekerjaan yang dilakukannya haruslah dengan kesadaran kolektif. Bahwa baik buruknya kerja yang dilakukannya sebenarnya berakibat bagi baik buruknya pencitraan ummat Islam secara umum. Disini kita harus terus menerus melakukan intropeksi. Singapore adalah sebuah negara yang tidak menjadikan Islam sebagai landasan falsafah. Tapi Singapore banyak menghidupkan “amal praktis” Islam. Di antaranya doktrin kebersihan adalah sebagian dari iman ternyata lebih hidup di sana ketimbang di negara kita yang mayoritas muslim ini. Di negara kita banyak para ulama berpendapat bahwa merokok itu makruh atau haram. Ternyata Indonesia adalah negara perokok terbesar di muka bumi. Padahal Singapore tanpa doktrin makruh atau haram, dapat dikatakan sebagai negara yang nyaris tanpa rokok. Atau setidaknya mereka punya pengaturan yang dianut.

Kata akhir

Di Medan ada pepatah melayu yang bermakna negatif, “Kojo syibu, tidak koyo syibu matus, kojo tak kojo syibu matus. Elok awak tak kojo syibu matus”. Pepatah dimaksud sepertinya cukup pas untuk menunjukkan mentalitas ummat kita dalam bekerja. Ia merupakan filosofi dari mereka yang malas bekerja tapi pingin hidup senang. Bahkan dapat melakukan hal yang nista asal hidupnya senang. Kita harus merubah prinsip kerja kita. Dalam “7 Habits of Highly Effective People”, Stephen R. Covey menceritakan bahwa bagian dari pembentukan kemenangan pribadi adalah membangun kebiasaan untuk merujuk pada tujuan akhir. Akhirnya yang patut saya pertanyakan diujung makalah ini adalah apakah anda bekerja hanya agar anda bisa membeli kesenangan hidup, atau mengumpulkan uang banyak untuk hari tua, atau anda ingin menunjukkan pada orang dekat anda bahwa anda hebat, atau anda ingin menggapai ridho Allah dunia akhirat. Untuk yang satu ini saya perlu mengatakan bahwa menggapai ridho Allah dalam bekerja itu tidak mudah. Anda harus memberdayakan habis-habisan potensi insani yang sudah dikaruniakan-Nya kepada anda. Baru kemudian anda boleh pasrah atau tawakkal. Bersyukur itu bukan mengucap alhamdulillah saja, tapi menggunakan nikmat yang sudah dikaruniakan dengan sebaik-baiknya. Jika nikmat itu berupa jabatan maka anda harus bersyukur dengan cara bekerja dengan mengoptimalkan seluruh kemampuan anda sehingga anda memperoleh hasil baik. Ukuran kebaikan itu adalah anda merasakan ketenangan dan kepuasan serta keuntungan yang anda harapkan, perusahaan tidak kecewa dengan pekerjaan anda, mitra tidak lari karena kualitas yang anda hasilkan, serta Allah pun ridho. Semua ini sebenarnya mampu anda lakukan jika anda mau. Jika anda tidak mau, anda berhak menentukan diri anda sendiri.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: