Jumat, 22 Juni 2007

Ummat Sadar Dakwah

Membangun Masyarakat Sadar Dakwah

Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” --- Al Fushilat :33 ---

Sudahkah ummat Islam melaksanakan peran sentral sebagaimana diserukan dalam Al Quran (Ali Imran : 104)? Mampukah mereka hadir dengan percaya diri memberikan solusi kreatif atas segala permasalahan ummat manusia sekarang ini (An Nur : 55)? Atau, apakah mereka sudah benar-benar paham akan agama mereka sendiri? Pertanyaan-pertanyaan dimaksud sangat pantas kita ajukan pada komunitas ummat Islam sekarang ini dimanapun mereka berada. Oleh karena, nyaris seluruh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang terjadi sepanjang abad dua puluh yang lalu berlangsung tanpa peran berarti dari ummat Islam.

Sepertinya ummat Islam sekarang ini hanya sepakat untuk menjadikan Islam hanya sekadar sebagai “agama penyelamatan” bagi kehidupan akhirat mereka. Sehingga tata laku kehidupan di dunia ini dilakukan dengan hanya memperhatikan kredit akhirat yang mungkin akan diperoleh. Tentu saja kesadaran yang demikian ini hanya menggiring ummat ke dalam pemikiran yang sempit, bahwa Islam dan segala ajaran yang terkandung di dalamnya hanya ditujukan untuk mencari kebahagiaan di akhirat belaka.

Jikapun kita sering mendengar adanya tujuan memperoleh kebahagiaan di dunia itu klise belaka. Disamping fakta material tidak demikian, ternyata secara psikologis sendiripun ummat Islam juga belum bahagia. Bukankah kebahagiaan dimaksud adalah ketika terbangunnya suatu komunitas ummat yang sejahtera lahir dan bathin? Walaupun ummat tahu bahwa Islam adalah agama yang mencakup dunia maupun akhirat namun fikrah ummat masih terbelah. Mereka tidak mampu mensikapi tata ajaran Islam sesukses pemahaman mereka terhadap tujuan akhirat.

Disamping itu, pencapaian kesuksesan akhirat pun ternyata masih sangat individual. Muatan kesadaran ummat belum kolektif sehingga penyelamatan yang dilakukan masih cenderung lebih mengutamakan “Aku” ketimbang “Kita”. Padahal Al Quran menegaskan bahwa penyelamatan itu hqarus dengan memperhatikan “kita” (At Tahrim : 6). Konsekuensinya dapat kita lihat, dimana tidak sedikit ummat Islam yang secara individual cukup ketat dan taat membangun kesalehan dirinya, namun miskin sekali kesadarannya bahwa kesalihan individual itu hanya merupakan tahap awal dari akhirnya harus terbentuk keshalihan sosial. Tidak sedikit ditemukan ummat yang khusyu’ berdzikir atau menangis karena Allah, namun mereka masih minim kepedulian akan dosa yang dilakukan saudaranya. Tidak sedikit ummat yang mamou membersihkan najis di pakaiannya namun belum cukup peka untuk membersihkan najis yang ada pada masyarakatnya seperti kriminalitas yang hari ini merajalela.

Dimana Akar Masalah ?

Bukan tidak ada pembelajaran di tengah ummat, namun visi pembelajaran sudah menyempit. Seperti halnya ada sebagian ummat yang hanya memperhatikan sisi fikih ibadah tanpa serius memperhatikan fikih muamalah. Atau ada yang mempelajari fikih al Ahkam dengan baik, namun lemah di sisi fikih ad Dakwah. Malangnya keadaan ini diperparah dengan saling klaim di tubuh ummat yang mengatakan bahwa apa yang mereka pelajari ini lebih penting dari yang lain. Gejala ini cukup terasa di tubuh ummat walau klaim seperti ini hanya mengindikasikan lemahnya pemahaman ummat kepada Islam. Padahal yang harus dibangun ummat adalah kesadaran lintas pemahaman dan lintas jamaah, untuk akhirnya membangun suatu koordinasi yang baik, sehingga ummat harus dapat saling mengisi satu sama lain.

Di sisi lain ummat juga lebih nyaman dengan fatwa “alim atau ulama” meraka. Hal itu dikarenakan adanya opini kultural yang menyatakan bahwa jika sudah disebut ustadz atau kiyai pastilah tidak mungkin salah. Segala keterangannya selalu dianggap paling benar dan ummat hanya perlu mendengar apa kata ustadz atau ulama. Jelas sekali pemikiran seperti itu tidak sehat karena dengan mudahnya akan membangun ummat yang taklid buta. Padahal kebenaran hanya pada al Quran dan Sunnah. Ummat harus dikenalkan kepada yang itu bukan kepada yang lain. Atau mereka boleh kenal yang lain setelah fikrah mereka tersibghohi dengan baik oleh Quran dan Sunnah. Jika tidak ummat sering terjebak dalam fikroh gharb (pemikiran aneh yang membingungkan).

Akibat tidak mengenal keaslian Islam, ummat pun akhirnya merasa tenteram dengan kebiasaan tata laku dan tata pikir yang belum tentu benar. Ukuran kebenaran di tengah mereka adalah kebiasaan, bukan kebenaran itu sendiri. Ummat seperti ini sangat berbahaya oleh karena segala tata nilai dapat masuk ke tengah-tengah mereka asal saja mampu hadir secara kontinyu sampai ummat terbiasa dengan kehadirannya.

Siapa Bertanggungjawab ?

Jelas itu bukan pertanyaan bijak tapi itulah yang selalu menjadi pertanyaan. Pertanyaan tersebut cenderung nmengajak si penanya sebagai orang , yang kalau bisa bukan sebagai tertuduh. Maka menjawab pertanyaan demikianpun harus bijaksana. Bahwa yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah para dai (penyeru di jalan Allah). Dengan jawaban ini kita bisa langsung mengevaluasi berapa banyak orang yang faham siapa dai yang dimaksud. Umumnya ummat akan langsung menoleh kepada ustadz atau ulama. Dengan kata lain, para ustadzlah yang bertanggung jawab terhadap kebobrokan moral ummat sekarang ini. Kira-kira demikianlah pandangan mereka. Namun benarkah itu?

Saya pernah mengatakan bahwa para dai itu belum tentu ulama, tapi bukan berarti mereka dapat berbuat demikian tanpa pengetahuan dan tanpa ilmu. Oleh karena ummat tidak mungkin seluruhnya mengambil peran ulama, tetapi seluruh ummat harus mengambil peran dalam dakwah. Mereka harus menjadi dai agama ini (Ali Imran : 110).

Ketidaksadaran akan peran dakwah inilah yang mengakibatkan ketimpangan besar. Mayoritas ummat lebih nyaman hanya menonton dan menunggu, tidak kreatif. Mereka menganggap bahwa kerja cari makan tidak perlu memperhatikan akhlak Islam. Jika demikian tentunya mereka akan memilih minhaj (sistem) yang bukan Islam dalam meraih kesuksesan duniawi mereka. Sebagai contoh, seorang pengusaha tak perlu memakai pesan Islam dalam berbisnis,m cukup dia menyumbang untuk oprang miskin. Seorang dokter tak usah menggunakan etika Islam, cukuplah dia mengikuti pengajian dan memiliki beberapa anak asuh. Padahal yang terpenting adalah bagaimana ummat tahu bagaimana menunjukkan Islam secara jelas pada pekerjaan mereka.

Dari Mana Harus Dimulai

Ummat harus sadar bahwa mereka adalah dai. Berdakwah bukan berceramah tatapi dengan mengajak orang menghidupkan Islam pada seluruh sisi aktivitas kehidupan mereka, maka itu dakwah harus memiliki modal keteladanan.

Objek dakwah adalah manusia yang ada sebagai individu atau elemen suatu keluarga, masyarakat dan ummat. Dakwah tidak harus kaku dalam menetapkan urutan pelaksanaannya seperti adanya jargon “saya belum perlu mengajak orang lain jika saya belum baik”. Pernyataan itu bisa dibenarkan untuk melakukan dakwah pada diri sendiri sampai akhirnya berhasil menundukkan diri untuk pasrah kepada hukum Allah. Untuk menundukkan diri kepada Allah, seseorang harus mentarbiyah dirinya, mengenal secara benar ajaran Islam. Ia harus tahu bahwa Islam harus menjadi teladan kebaikan, tak boleh diam bila melihat kebatilan.

Akhirnya seorang muslim harus menyadari untuk terlibat aktif dalam menata masyarakatnya. Dan itu harus dimulai dari keluarga. Ajakan ini harus dilakukan dengan hikmah, pengajaran yang baik, dan –jika harus—debat dengan cara yang baik (An Nahl : 125). Lepas itu iapun harus menoleh kepada masyarakat, mempelajari sebab ketakpedulian ummat kepada nilai Isla, serta mencari solusi terbaik untuk kemudian melakukan penataan ummat.

Jelas tak ada manusia super yang sanggup melakukan itu sendirian. Oleh karena itu harus ada suatu team atau jamaah yang secara tulus dan serius menyediakan waktu mereka guna menyeru kepada ummat ini. Mereka harus mengambil dua fungsi sebagai pembangun dan perawat sekaligus. Tak boleh ada ummat yang tertingal, mereka harus menjadi dai. Dan tugas pertama jamaah adalah membangunkan ummat serta menyadarkan mereka bahwa mereka sebenarnya adalah dai. Apakah Anda yang membangunkan atau dibangunkan?

Tidak ada komentar: