Jumat, 22 Juni 2007

Shahwah Islamiyah

Shahwah Islamiyyah

Suatu Analisis Sejarah Kebangkitan Islam di Indonesia

Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah swt bagi orang yang yakin?

MUQADDIMAH

Pasca keruntuhan khilafah Turki Utsmani, hampir seluruh dunia Islam berada dibawah cengkeraman kuku imperialisme Barat. Bebarengan dengan itu, segala bentuk serbuan yang di kemas dengan gaya ghazwul fikri pun tak terelakkan sebagai bagian tahapan canggih imperialisme Barat dengan harapan akan memberikan pengaruh dalam waktu lama di dunia Islam. Oleh karena itu dunia Islam berhadapan dengan dua persoalan sekaligus. Pertama, imperialisme Barat secara fisik yang membutuhkan tampilnya mujahid fillah untuk mengusirnya, dan kedua, imperialisme Barat secara mental (ghazwul fikri) yang membutuhkan tampilnya ulama (ulul albab) fillah yang terus-menerus harus menyadarkan umat tentang izzah Islam dan bathilnya manhaj jahiliyyah (QS Al Maidah : 50).

Kedua persoalan yang dinyatakan diatas setidaknya memang telah mampu membangkitkan ghirah Islami yang terlihat dalam bentuk heroisme ummat Islam mulai dari Aljazair sampai ke Indonesia untuk mengusir imperialisme Barat. Hal tersebut telah ditulis secara apik oleh G.H. Jansen dalam bukunya yang berjudul Militant Islam. namun dari sisi ghazwul fikri terdapat sedikit ganjalan karena ummat Islam terpecah menjadi dua kubu, pertama yang mendukung modernisme imperialis Barat dan kubu lain yang tetap berpegang teguh pada manhaj al-fikr al-salafy (metode berfikir salaf). Tidak tertutup juga kemungkinan bahwa terdapat pula mereka yang cenderung ghuluw (berlebihan) dalam berpikir.

Kondisi di atas semakin mengentalkan gerakan shahwah Islamiyyah. Konon lagi modernisme barat mampu memberikan solusi kepada dunia Islam, malah semakin memberikan kebingungan bagi ummat Islam. Maka dikenal gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin Hasan al-Banna di Mesir, Jama’atul Islamiyyah pimpinan Abul A’la al-Maududi, Izuddin al-Qassam yang menggerakkan perlawanan kepada Israel di Palestina, sampai kepada heroisme umat Islam dalam menggerakkan jihad melawan Belanda yang dipimpin oleh Hujjaj dan ‘Asatiz. Semuanya bersatu dalam semangat shahwah Islamiyah.

Gerakan shahwah tersebut tidak hanya bergerak secara siyasah (politik), tetapi juga memasuki kawasan al-fikr, ekonomi, budaya dan kultural yang mengambil referensi kepada fikroh salafy yang berpedoman kepada Quran dan Sunnah. Tulisan ini berupaya menyoroti gerakan shahwah Islamiyah di Indonesia dengan harapan dapat menjadi pedoman untuk menetapkan langkah praktis dan taktis aktivis dakwah di Indonesia.

Kenapa Islam Indonesia ?

Ketika Fazlurrahman berkunjung ke Indonesia, ia optimistis bahwa Indonesia akan tampil sebagai imam kebangkitan dunia Islam. belakangan Hassan Hanafi dari Mesirpun mengeluarkan pernyataan yang relatif sama. Cak Nur sendiri dalam beberapa tulisannya selalu menegaskan bahwa is optimistis bahwa Indonesia akan menjadi model Islam masa depan. Hal yang selalu dinyatakannya adalah bahwa Islam Indonesia masih berada dalam proses pendewasaan. Analog yang selalu dinyatakan adalah bahwa “Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Islam, namun tujuan wisata spiritualnya adalah peninggalan Hindu dan Budha. Sementara India yang mayoritas penduduknya adalah Hindu, namun tujuan wisata spiritualnya adalah peninggalan Islam”. Analog tersebut menegaskan bahwa Islam Indonesia jelas tidak memiliki peradaban atau kejayaan masa lalu. Jika pun ada itu hanya bersifat iqlimiyyah (lokal) saja. Secara lebih rinci prediksi tentang Indonesia sebagai imam kebangkitan Islam dapat dilihat dari uraian di bawah ini:

  1. Indonesia berada di kawasan peripheral (pinggiran) dunia, sehingga jarak dengan sumbu permasalahan dunia relatif jauh, khususnya dari sumbu pergolakan Islam dunia (Timur Tengah). Ini menyebabkan Indonesia cenderung lebih sejuk untuk membicarakan dan merencanakan serta mewujudkan amal Islam.
  2. Indonesia tidak pernah mengalami trauma sejarah keruntuhan khilafah dalam Islam. Turki pernah mengalaminya pada Khilafah Utsmani-nya, India dengan Khilafah Moghul-nya dan Persia dengan Khilafah Syafawi-nya.
  3. Kepribadian bangsa di negeri ini bersifat elastis dan mudah beradaptasi dengan berbagai wacana pemikiran dan gerakan. Hal ini semakin dikuatkan dengan watak bangsa Indonesia yang menyenangi persuasi dan akomodasi bukan konfrontasi.
  4. Islam Indonesia tidak memiliki masa lalu kejayaan. Ini tentunya menguntungkan untuk menetapkan warna Islam bagaimana yang akan ditegakkan.
  5. Terdapat riak (gejala) waktu dalam kultur yang formalistik menunjukkan terdapatnya kesemarakan dalam melaksanakan syiar Islam di Indonesia.
  6. Corak keislaman bangsa Indonesia menurut banyak pengamat bersifat sangat humanis dan toleran. Ini tentunya sangat sesuai dengan Islam yang normatif.

Sedikitnya enam poin di atas menunjukkan bahwa getaran shhwah Islamiyyah di Indonesia bukan merupakan suatu hal yang musykil. Ia merupakan suatu kebenaran yang tidak dapat dipungkiri. Namun perlu disikapi secara objektif yang harus minus emosional.

Dinamika Shahwah Islamiyyah

Jika diperhatikan, maka dapatlah dikatakan bahwa shahwah Islamiyah di Indonesia telah berlangsung dalam tiga marhalah.

Pertama, Marhalah Qital wa Siyasah (tahapan jihad perang dan politik). Tahapan ini ditandai berlaku sejak zaman perjuangan kemerdekaan hingga pra-Orde Baru. Dalam masa perjuangan kemerdekaan juga terbagi dalam dua marhalah yaitu marhalah iqlimiyyah (fase lokal) dan marhalah ‘am (fase nasional). Kedua fase itu terlihat secara jelas diwarnai dengan syiar keislaman. Diantaranya adalah gema takbir Allahu Akbar yang selalu diteriakkan untuk memotivasi semangat jihad. Selanjutnya terbetik istilah “Isy Kariman au Mut Syahidan” (hidup mulia atau mati syahid) yang kemudian di sekulerkan sebagai “merdeka atau mati”. Dapat dilihat sampai pada perjuangan Arek-arek Suroboyo, teriakan takbir Bung Tomo dari RRI telah memantik semangat jihad pemuda Surabaya. Ditambah lagi pengaruh besar Kyai Zainal Musthafa yang entah kenapa gaung nafas Islam perjuangan pahlawan pada 10 Nopember 1945 tersebut tidak didengar lagi dalam catatan sejarah resmi kita. Bahkan boleh jadi anak-anak sekolah hanya mengenang hari tersebut sebagai "HARI PAHLAWAN" tanpa taste (rasa) dan apresiasi yang benar.

Dari perjuangan fisik, shahwah islamiyah Indonesia bergeser menjadi perjuangan siyasah pasca kemerdekaan. Akumulasinya dapat dilihat dari berdirinya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Tujuan Masyumi tentunya adalah menumbuhkembangkan 'izzah Islam dengan menghidupkan pemerintahan yang Islami secara moderat. Namun belakangan Nahdhatul Ulama salah satu faksi Islam yang berafiliasi ke Masyumi beraliansi dan membentuk kekuatan politik formal tersendiri. Secara tidak disadari hal tersebut telah menjadi fitnah Islam Indonesia secara politis, oleh karenanya setidaknya telah menyebabkan umat Islam Indonesia berada pada kubu yang berbeda (lihat itu adalah permasalahan ukhuwah). Dalam situasi tersebut komunis mengambil kesempatan. Suburnya komunisme oleh karena ambivalensi politik Islam Indonesia sehingga konsentrasi menghadapi invasi pemikiran tidak begitu mantap. Situasi itu yang dengan jitu dimanfaatkan oleh komunis untuk kemudian menggusur Masyumi dari pentas politik Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena komunis beranggapan bahwa Masyumi lebih banyak mengandung potensi rawan ketimbang NU. Ternyata siasat menggusur Masyumi disahuti oleh Presiden RI kala itu dengan drama percobaan pembunuhan di Sulawesi.

Selanjutnya NU berdiri sebagai partai politik Islam tunggal untuk bersaing dengan kekuatan partai sekuler dan komunis, namun tidak begitu banyak mendapat simpati ummat. Sampai kemudian muncul pemberontakan berdarah G.30-S/PKI.

Walaupun upaya untuk membangkitkan Islam Politik atau politik Islam masih muncul di awal Orde Baru, namun dengan sangat diplomatis romantisme itu tidak dibenarkan pemerintah. Sehingga shahwah Islam dengan cara siyasah meredup.

Kedua, adalah Marhalah al-Fikr (tahapan pemikiran). Tahapan ini dimulai sejak tahun 70-an. Sebenarnya tahapan ini lebih menekankan pada munculnya gerakan modernisme di dunia Islam. Hal itu ditandai dengan pulangnya kalangan muda Islam dari sekolahnya di Eropa dan Amerika. Mereka ini banyak mengeluarkan lontaran pemikiran yang relatif asing bagi tradisi pemikiran Islam Indonesia.

Dalam makna yang positif munculnya modernisme Islam ini kemudian memantik kesadaran shahwah dalam bentuk pemikiran yang berpedoman pada manhaj salafy. Walaupun begitu situasi tersebut masih tengah berproses. Sementara di sisi modernisme semakin menunjukkan bentuknya. Mereka ini mengklaim mendapat tempat yang istimewa di kalangan birokrat pemerintahan. Apalagi ketika pemerintah memberi izin berdirinya ICMI, hal ini diyakini sebagai semakin diterimanya muslim modernis oleh pemerintah.

Memang shahwah islamyyah di Indonesia harus dilihat dari posisi umat Islam berhadapan dengan pemerintah. "Berhadapan" tersebut bukan berarti konfrontatif, tetapi bagaimana hubungan umat Islam yang berlangsung dengan pemerintah. Lahirnya ICMI dianggap sebagai pernyataan welcome pemerintah terhadap fikroh dan amal Islam. Bahkan oleh seorang tokoh ormas Islam terbesar - yang lontaran pemikirannya selalu membingungkan umat - ICMI dinyatakan sebagai sektarian dan jelmaan dari Masyumi. Namun tokoh ini memang selalu begitu, fikroh dan manhaj yang digunakan selalu misterius.

Secara jelas sebenarnya marhalah al-fikr, khususnya dari kalangan modernis Muslim tidak begitu banyak memberikan pengaruh kepada umat Islam. Ia hanya menimbulkan riak secara elitis di kalangan pemikiran menengah Islam. Namun yang pasti modernis Islam Indonesia telah memantik lahirnya pemikir Muslim yang hanif.

Ketiga, Marhalah al-Amal (tahapan kerja). Ia lebih pantas dikatakan sebagai tahapan kultural. Ini sebenarnya telah berlangsung lama, namun tidak secara sistematis. Belakangan ini baru diupayakan secara sistematis. Dan telah memunculkan indivisu muslim yang memiliki komitmen keislaman yang jelas dan tegas. Ketiga marhalah tersebut sebenarnya tidak berlangsung dalam fase yang terpisah. Bahkan sekarang ini tiga model marhalah tersebut berlangsung serentak. Namun posisi umat Islam terkonsentrasi dalam dua kubu besar, satu kubu yang mengamini modernisme dengan segala prasyarat dan konsekuensinya, dan kubu kedua yang selektif dalakm menerima perkembangan moderen dan secara tegas meletakkan asas fikrohnya pada manhaj salafy.

Beberapa Catatan

Shahwah Islamiyah di Indonesia, bagaimanapun merupakan keharusan. Namun dalam perkembangannya ia memiliki beberapa catatan sebagai berikut:

1. Kesemarakan Islam Indonesia masih terkesan formalistik. Terlihat dari kegiatan keislaman yang dibenarkan masih pada yang tidak memakan ongkos politik yang tinggi. Padahal di lapangan banyak dijumpai praktek yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan, konon lagi dengan Islam. Walaupun begitu kondisi ini dapat dinyatakan sebagai start yang baik.

2. Persoalan ukhuwah masih merupakan persoalan klasik. Para tokoh ormas Islam masih sulit melakukan koordinasi akibat perbedaan visi ataupun misi.

3. Belum banyaknya (jika memang bukan tidak ada sama sekali) tenaga profesional Islam yang mampu menjawab serangan kelompok yang gandrung dengan "pemikiran lipstik". Sebagai akibat kelemahan daya ijtihad. Oleh karenanya perlu dilakukan suatu ijtihad yang cerdas. Jika tidak akan terus terjadi salah kaprah dalam memberi makna pada kata kunci Islam, seperti istilah dakwah, jihad, amal sholeh dan sebagaimnya.

Khotimah

Teori kemesraan umat Islam dengan pemerintahan Indonesia sebenarnya patut diperhatikan dengan objektif. Memang persoalan ini jika benar merupakan suatu langkah positif yang patut disyukuri. Namun jika itu dikaitkan dengan shahwah Islamiyah, maka shahwah Islamiyah harus difamahi sebagai bentuk kembalinya kesadaran umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai landasan fikir dan landasan gerak yang menyentuh lingkup kultural dan juga lingkup struktural, lingkup ide sekaligus realitas, jadi tidak separuh-separuh.

Oleh karenanya shahwah Islamiyah harus bergerak sekaligus, taktis dan praktis namun tidak meninggalkan semangat normatif. Shahwah Islamiyah Indonesia tidak dapat dicerabut dari tradisi Islam dunia, bahkan harus dapat dirunut sampai ke masa ideal kenabian. Jadi harus muncul upaya membaca sejarah dengan kritis.

Tugas kita kini adalah memanfaatkan momentum. Perlu disadari bahwa Islam Indonesia bervariasi, baik dari segi pemikiran maupun perilaku. Berbagai corak keislaman seakan melengkapi kebhinekaan kita. Oleh karena itu perlu sikap tasamuh ke dalam dengan melakukan amal bersama yang tentunya dengan tidak meninggalkan prinsip masing-masing.

Tidak ada komentar: