Jumat, 22 Juni 2007

Membentuk generasi Perubah

Membentuk Generasi Perubah

Oleh : A. Latif Khan

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mendcintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut kepada orang mukmin, yang bersikap keras kepada orang kafir, serta berjihad di jalan Allah, yang tidak takut celaan orang-orang yang suka mencela. Itulah karunia yang Allah berikan kepada yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Maidah 54)

Secara makro masyarakat muslim dunia sebenarnya memiliki perwajahan yang tidak jauh berbeda. Mereka cenderung memiliki problema yang relatif sama. Tercerabutnya pemahaman terhadap Islam yang benar, menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk menatap segala persoalan kehidupan mereka pada satu visi yang sama yaitu Islam. Terjadinya reduksi terhadap apa yang disebut Islam menjadi sekadar peribadatan belaka. Itupun menukik lagi menjadi peribadatan yang dilakukan secara individual.

Semangat Islam sebenarnya adalah semangat jamaah, semangat rahmatan lil alamin. Namun makna Islam mengalami pengerucutan menjadi sekadar peribadatan belaka. Maka ketika menghadapi persoalan yang terkait dengan keseharian hidupnya, umat Islam menjadi tidak berdaya. Umat Islam tidak berdaya secara ekonomi, politik, sosial, budaya modal dan lainnya.

Ustadz Hasan al-Banna dalam Majmuah Rasail mengatakan, umat Islam tengah menghadapi keruntuhan dan penyakit yang kronis dan kompleks. Mereka tertimpa berbagai macam penyakit. Padahal jika satu saja penyakit menimpa mereka sudah bisa membunuh mereka. Jelaslah bahwa penyakit umat itu sudah diidap sejak masa awal keruntuhan peradaban Islam yang kulminasinya terjadi pada saat sekarang ini.

Memahami Penyakit Umat

Penyakit yang menimpa umat Islam dapat dikategorikan dalam dua sebab, yaitu sebab internal dan eksternal. Sebab internal dikarenakan lepasnya interaksi umat kepada Al-Quran sebagai rujukan mereka. Lemahnya interaksi dengan Al-Quran menyebabkan umat mudah terkontaminasi oleh tata aturan yang belum tentu benar. Disamping itu umat Islam memiliki cacat bawaan yang belum mampu disembuhkan yaitu berukhuwah dengan baik.

Barisan Islam sering tidak rapat dan lurus, serta lebih sering mempersoalkan siapa yang paling layak menjadi imam jamaah daripada menekankan kepada kesadaran bagaimana seharusnya berjamaah. Lebih sukanya umat mempertanyakan “siapa memimpin siapa” adalah dikarenakan belum kuatnya minhaj (sistem) anut yang diikuti. Walhasil masing-masing umat akan memproteksi diri menyatakan bahwa dia dan kelompoknya saja yang paling baik dan benar. Atau di sisi lain umat Islam terjebak untuk melihat hal-hal yang azimah (urgen). Ini juga berakibat pada lebih sukanya umat membenarkan diri atau kelompoknya sendiri. Maka tidaklah heran jika ditemukan suatu kelompok yang menguliti kelompok lain sesama Islam, ketimbang melakukan penataan umat untuk memasuki intraksi pluralitas masyarakat dunia.

Secara eksternal penyakit umat bermula dari tidak siapnya umat menghadapi kekuatan dari luar dirinya. Sementara kekuatan luar dimaksud memang tidak begitu menyukainya. Akibatnya umat menjadi tidak begitu reaktif ketika menemukan perkembangan di luar dirinya. Sikap reaktif bukan tidak perlu, tetapi tidak harus menjadi paling dominan karena ia dapat menumbuhkan kreativitas yang sehat. Umat Islam seharusnya menempatkan musuhnya sebagai kompetitor, sehingga umat tidak gagap jika satu saat berhadapan dengan musuhnya.

Umat Islam sebenarnya menghuni tidak kurang sepertiga dunia, dengan jumlah yang signifikan yaitu satu milyar lebih diantara lebih kurang lima milyar penduduk dunia. Wilayah mukim kaum muslimin juga strategis, dukungan sumber daya alam yang melimpah sebenarnya menjanjikan satu posisi tawar yang tinggi. Namun karena mereka tidak sadar dengan potensinya tersebut, umat Islam menjadi budak di negerinya sendiri. Umat Islam silau dengan segala kelebihan negeri barat yang diadopsi dari negeri Islam sendiri.

Ada sebuah upaya sistematis yang dilakukan untuk memutuskan umat Islam dari jalinan sejarah aslinya. Sejarah Islam diputuskan satu sama lain sehingga hanya menjadi sejarah sebuah bangsa, suku atau sejarah seorang tokoh, bukan sejarah agamanya. Jika satu umat membanggakan sejarah diri, suku atau bangsanya maka yang menonjol adalah kebanggaan keakuannya (ashabiyah), bukan kebanggaan pada agamanya.

Kita seharusnya belajar dari Salman al-Farisi yang tidak pernah membanggakan kepersiaannya, atau Bilal bin Rabbah yang tidak membanggakan keafrikaannya. Mereka menyatu dalam satu kebanggaan sebagai seorang mukmin. Inilah kekuatan itu, umat berada pada satu kesadaran yang sama sebagai orang Islam. Kesadaran yang sama membawa mereka sadar akan tanggungjawab yang sama yaitu menegakkan Islam sebagai rahmat semesta.

Memahami Masalah

Mengambil kasus Indonesia umat Islam sedang berada pada titik nadir. Sekelompok ulama ramai menanggalkan fungsi keulamaannya dan memasuki dunia dimana mereka tidak memiliki ilmu untuk itu. Sementara umara banyak yang kembali kepada thesis Firaun yang mengukur kemuliaan dirinya dari ketinggian kekuasaannya. Orang kaya bertingkah seperti Tsa’labah yang beranggapan bahwa kekayaan adalah kekekalan dirinya. Rakyat pun berlakon buruk sehingga banyak permasahan membelit yang tak kunjung bisa diselesaikannya.

Jika ukuran kebaikan adalah terdapatnya pemimpin yang baik, maka Indonesia sedang menonton seorang pemimpin yang berlaku sangat buruk. Hal ini dikarenakan oleh dua sebab. Pertama bukan karena tidak ada lagi orang baik ditengah kita. Tetapi karena yang baik memproteksi kebaikannya dari keburukan. Kebaikan ini tidak akan kekal. Kebaikan tidak boleh statis atau tertutup, ia harus dinamis sehingga gampang diikuti. Inilah yang menyebabkan kebaikan menjadi langgeng. Kelemahan ini terasa sekali dimana kita tidak mampu membentuk kader yang militan.

Sebab kedua adalah sama buruknya kita dengan pemimpin kita, sehingga umat miskin dari amal-amal Islam yang istiqomah. Ditengah umat Islam hari ini berserak sedemikian banyak kemaksiatan yang sulit disebutkan satu persatu.

Perlunya Generasi Perubah

Bukan tidak mungkin wibawa umat Islam akan habis jika mereka larut dalam segala keburukan yang secara sengaja atau tidak sengaja mereka lakukan. Oleh karena itu diperlukan generasi perubah yang menata kembali umat Islam dengan pola yang professional. Generasi perubah itu tidak lahir begitu saja, tetapi melalui suatu pembinaan yang ikhlas melalui khittah yang jelas. Dan dalam QS Al Maidah : 54 disebutkan bahwa generasi perubah tersebut memiliki sifat pribadi yang unggul.

Mereka lembut kepada sesama Islam, tegas kepada yang kafir. Berjihad di jalan Allah swt dan tidak takut celaan orang yang suka mencela. Sementara itu dalam surat Ali Imran ayat 146 dinyatakan bahwa mereka memiliki tiga sikap yaitu: ‘adamul wahn, tidak cepat mengeluh jika mengalami tekanan atau himpitan dalam dakwah. Kedua ‘adamul dha’af tidak lemah baik karena kesalahan tujuan, metode ataupun sarana. Dan ‘adamul istikanah tidak cepat menyerah kepada musuh.

Jelas itu bukan pekerjaan yang mudah. Yang pertama harus kita selesaikan adalah kesadaran bahwa kita memang menghadapi masalah. Akan rumit memberikan solusi permasalahan bangsa ini jika elemen bangsa atau umat menyangka bahwa yang menimpa umat sekarang ini bukan merupakan suatu masalah.

Wallahu a’lam

Tabiat Jalan Dakwah

Adakah manusia yang menyangka bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan kami telah beriman, padahal mereka tidak diuji. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Lantaran itu Allah mesti mengetahui orang-orang yang benar dan orang yang berdusta. --- Al Ankabut : 1-3 ---

Banyak orang yang menyangka bahwa tugas dakwah adalah menyampaikan Islam kepada manusia secara lisan saja. Dan itupun hanya pantas dilaksanakan oleh mereka yang sudah dikenal umum memiliki pengetahuan tentang Islam. Sangkaan ini tidak sepenuhnya tepat, dakwah adalah tugas semua orang Islam. Sekali mereka menerima Islam sebagai agama, maka kemuliaan akan diraih mereka dalam Islam salah satunya dengan menghidupkan dakwah (Ali Imran : 110). Dakwah adalah seruan agar akhirnya siapapun mau dan suka melaksanakan syariat Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan tulus.

Aktifitas dakwah adalah aktifitas yang harus memberdayakan segenap kemampuan insaniyah secara optimal dari para juru dakwahnya, agar semua manusia tidak keberatan lagi menjalankan segala ketentuan Islam. Selama masih ada manusia yang menyimpang dari nilai-nilai Islam, selama masih ada semangat menegakkan kebatilan dengan mengabaikan kebenaran, maka selama itulah dakwah harus terus ditegakkan!

Oleh karenanya, dakwah adalah tugas ummat Islam secara keseluruhan. Dan ini ditunjukkan dengan menampilkan bicara mereka, sikap mereka, akhlak mereka dan aktivitas kerja mereka. Dengan kata lain ummat Islam harus menjadi yang terbaik dalam seluruh aktifitas hidupnya. Peran tampil terbaik ini terkait dengan tugas mereka sebagai ustazhiyat al 'alam (guru umat manusia). Ummat Islam harus tampil sebagai rahmatan lil 'alamin. Secara khusus harus tampil kelompok ummat yang menegakkan dakwah secara serius, menjadikan dakwah sebagai pekerjaan hidupnya (Ali Imran 104).

Fakta Gerakan Dakwah

Sebenarnya bukan tak ada gerakan yang secara serius menata diri sebagai juru dakwah ummat. Namun suatu "ketidakdewasaan" telah terjadi. Nyatanya, pelaksana gerakan dakwah itu tidak satu, mereka terkonsentrasi pada beberapa jamaah dakwah, dan kebanyakan mereka lebih sibuk mengurusi jamaah dakwah lain. Satu kelompok dakwah sibuk membidah dan bahkan menyesatkan kelompk dakwah lainnya. Dari sisi auliyawiyat-nya (prioritas dakwah) itu tidak benar. Seharusnya mereka harus lebih berkonsentrasi dalam hal yang paling urgen dalam dakwah yaitu menyadarkan ummat kepada Islam.

Ummat Islam dewasa ini berada dalam situasi yang amat musykil. Di indonesia misalnya, jumlah mereka cukup signifikan. Namun faktanya keberIslaman mereka terjebak dalam hanya memelihara "tradisi Islam"(?) yang belum tentu benar dari pada membangun kesadaran fikroh dan amal Islam. Wajar bila dikatakan bahwa sebenarnya ummat Islam Indonesia ini adalah minoritas dalam hal dikaitkan dengan kesiapan dan kesadaran membangun dakwah.

Gerakan dakwah seharusnya memperhatikan keadaan ini. Mereka harus membangun karakteristik dakwah yang orisinil bersumber pada minhaj. Bukan membangun karakteristik mereka sendiri. Gerakan dakwah juga tidak seharusnya melakukan pembenaran diri sendiri. Jika mereka menyebut selain Islam adalah salah, pendapat itu benar. Namun jika menyebut bahwa selain jamaah mereka adalah salah, inilah kesalahan besar. Contoh riil adalah ketika Nahdatul Ulama memberikan reaksi berlebihan ketika Laskar Jihad pimpinan Ja'far Umar Thalib menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah. Reaksi berlebihan NU terhadap Laskar Jihad ini sungguhlah aneh.

Pengakuan dakwah yang orisinil menegakkan agama Allah, bukan lainnya. Tidak boleh ada satu kelompok jemaah dakwah yang merasa paling banyak berbuat dalam membangun kebenaran Islam. Pembelaan dakwah yang dilakukan haruslah pembelaan kepada kepentingan agama Allah. Bukan pada pembelaan pada kepentingan mahdzab, kepentingan ormas, atau kepentingan jamaah mereka sendiri.

Perlu sekali dibangun lintas kerjasama di atas dasar ukhuwah Islamiyah. Semakin terbukanya kesempatan dalam dakwah di era reformasi ini, seharusnya tidak dijadikan ajang oleh gerakan dakwah yang ada hanya merebut simpati agar orang turut dalam gerakan dakwahnya saja. Terkadang ada yang menelanjangi kekurangan kelompok jamaah lain sampai lupa bahwa tugas utamanya adalah mengingatkan ummat kepada Islam.

Menyadari Tabiat Dakwah

Jika dakwah dilakukan secara benar dan lurus pun ternyata memiliki tabiat yang tidak mudah dilalui dan dikendalikan oleh para pelaksana dakwah. Seharusnya seluruh ummat yang bergerak di jalan dakwah menyadari hal ini. Bahwa jika mereka lurus saja mengerjakan dakwah maka mereka akan dengan benar dan tulus menjalaninya. Mereka tidak lagi disibukkan oleh berbagai kesibukan yang tidak asli sebagai kesibukan dakwah. Jika seluruh mereka yang terlibat dalam dakwah itu tahu tabiat dakwah, tentu mereka akan lebih sibuk mengurusi dakwah ini ketimbang mengurusi kelompok dakwah yang bukan kelompok mereka.

Tabiat dakwah ini yang pertama adalah selalu adanya gangguan dari musuh dakwah. Ustadz Musthafa masyhur mengatakan bahwa dakwah ini tidak ditaburi bunga harum tetapi merupakan jalan yang sukar dan panjang. Para aktifis dakwah akan berhadapan dengan musuh dakwah yang tidak sekadar ingin menghentikan dakwahnya, tetapi juga menghancurkan pelakunya. Oleh karena itu para juru dakwah seharusnya tahu bahwa PR mereka adalah banyaknya orang yang tidak senang tampilnya Islam sebagai jawaban. Untuk itu mereka harus saling bahu membahu bersama siapa saja yang berkepentingan tegaknya Islam sebagai solusi.

Gangguan dari musuh dakwah ini banyak caranya. Dapat dengan cara iming-iming kenikmatan hidup asal dakwah bisa dihentikan, atau teror, intimidasi bahkan kekerasan. Dengan demikian aktifis harus memiliki kesiapan dalam menghadapi dakwah ini.

Selanjutnya tabiat dakwah itu adalah beratnya beban atau tugas dakwah dan memakan waktu yang tidak sebentar. Oleh karenanya butuh kesabaran dan ketekunan, tanpa boleh ada orang yang sok percaya diri bahwa dakwah itu akan berhasil karena diri atau kelompoknya. Dakwah bukanlah pekerjaan masyarakat dalam satu kurun atau satu wilayah. Tapi dakwah telah berlangsung sejak dahulu, untuk seluruh wilayah manusia hingga hari ini.

Kewajiban Dai Lebih Banyak dari Waktu yang Dibutuhkan

Kewajiban Dai Lebih Banyak dari Waktu yang Dibutuhkan, bahkan kewajiban dakwah ini lebih besar dari kemampuan yang dimiliki oleh para dainya. Oleh karenanya para aktifis dakwah dapat saja menetapkan batas waktu untuk meraih keberhasilan mereka, namun mereka tidak wajib berhasil dalam tugas dakwah mereka. Parameter keberhasilannya adalah bagaimana para aktifis dapat istiqomah dengan tujuan dakwah yaitu meninggikan kalimat Allah sekaligus merebut ridho-Nya. Serta menggunakan secara sabar cara-cara yang dibenarkan dalam dakwah ini, dan memakai sarana yang fitrah dalam melakukan tugas dakwah ini. Dengan ini wajarlah jika dakwah adalah tugas estafet, berlangsung sejak lama, bergerak terus. Selama kebatilan masih ada, selama itulah dakwah harus terus dilakukan.

Mereka yang Gugur di Jalan Dakwah

Jalan dakwah ini panjang, beban dakwah ini berat, banyak gangguan dalam dakwah ini, dan akhirnya banyak aktifis yang menyimpang dari garis dakwah ini. Tidak sedikit mereka berpuas diri setelah mendapatkan fasilitas dakwah lalu mereka tidak lagi serius menata dakwah. Ada yang tidak lagi mau berdakwah karena beratnya gangguan yang dialaminya, ia takut dan khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya. Ada yang letih melakukan dakwah, letih karena sendirian. Ada yang terus berdakwah namun dengan visi, tujuan dan cara yang terkontaminasi. Dakwah mereka tidak lagi untuk meninggikan kalimat Allah, tetapi untuk meninggikan kalimat dirinya, kelompok atau kepentingannya.

Dakwah ini membutuhkan orang yang siap lahir dan batin untuk menjalankannya, dakwah butuh orang yang tulus hanya mendapat upah dari Allah. Dakwah membutuhkan Anda?

Tugas Para Aktivis Dakwah

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.- AL Jumuah : 2

Aura kejahiliyahan semakin jelas tampak melingkupi seluruh kehidupan anak manusia. Dewasa ini, segala jenis kejahiliyahan yang tak pantas dilekatkan pada manusia yang mendapat keistimewaan dari Allah sebagai makhluk yang mulia (Al Israa : 70) dan memiliki bentuk yang sebaik-baiknya (At Tiin : 4), ternyata sudah berlaku dengan merata pada nyaris seluruh tata nilai dan tata laku kehidupan manusia. Ambil contoh saja di Indonesia, negeri ini dihuni oleh lebih dari seratus sembilan puluh juta orang yang menganut agama Islam. selayaknya jika negeri ini mampu membangun kultur beragama yang kondusif. Konon lagi perkembangan teknologi dan arus reformasi “seharusnya” telah membawa mereka pada kehidupan yang lebih elegan dan moderen. Namun faktanya tidaklah demikian.

Bangsa Indonesia sekarang ini, yang justeru berpenghuni mayoritas Islam itu, malah meluncur deras pada tata nilai dan tata laku masyarakat primitif dan Barbar. Di satu sudut negeri ini, darah tertumpah dengan mudahnya. Apakah itu terbungkus dengan kemasan konflik agama, antar etnis, antar pelajar, konflik antar elite politik atau yang lainnya. Sekarang malah (naudzubillahi min dzalik) kita tengah menunggu kulminasi konflik dimaksud, yaitu konflik intern ummat beragama (muslim) yang didesain dengan pembelaan dan pemihakan kepada kebenaran serta menghancurkan kedzaliman. Dua kubu ummat sudah mengeluarkan fatwa jihad serta sudah mempersiapkan pasukan berani mati?

Hampir merata pula di pelosok negeri ini, kalangan mudanya sudah terbiasa dengan kehidupan hedonisme dan permisivisme. Jika kelompok lain rela mati demi membela kepentingan kelompok atau tokoh pujaannya, maka kalangan remaja memilih siap mati, terjepit atau sekadar pingsan demi melihat artis pujaannya yang sedang menggelar pertunjukan di suatu tempat. Di sisi lain pada muda itu dengan nikmatnya bercengkerama dengan obat-obat terlarang atau larut dalam kehidupan free sex. Aneh, di saat rasa tanggung jawab keummatan dan kepekaan sosial kita seharusnya bangkit, anak negeri ini malah larut dalam syahwat mereka.

Ada lagi di sudut negeri ini, ribuan orang telah menjadi pengungsi di kampung sendiri. Mereka harus keluar dan lari dari rumah mereka, karena rumah mereka sudah di jarah, dirusak atau dibakar oleh tetangga kampung mereka dahulu atau oleh ummat sesama mereka. Teman atau saudara mereka itu sudah tega membunuh teman atau saudaranya yang lain. Semua itu dilakukan atas nama tuntutan keadilan?

Kehancuran kemanusiaan di negeri ini nyaris komplet. Kebobrokan dan kezaliman penguasa, kekikiran orang kaya, kehancuran moral remaja, serta loyonya wibawa ulama dan kulminasinya adalah larutnya ummat dalam kehidupan syahwat. Semua ini sekaligus proklamasi dari dicintainya kejahiliyahan sebagai sistem anutmasyarakat. Muhammad Quthb dalam bukunya berjudul Jahiliyyah al-Qarn al-‘Isyrin (Jahiliyah Abad Duapuluh) mengatakan bahwa jahiliyah itu adalah kondisi jiwa yang menolak mengambil petunjuk yang diberikan oleh Allah, serta suatu sistem yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah (Al Maidah 50). Dengan demikian, kejahiliyahan itu adalah suatu realitas prikologis, sehingga ia bukan kebalikan dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban.

Bangunlah Wahai Kekuatan yang Tidur

Negeri ini nyaris tenggelam dalam kebobrokan moral yang terjadi dan dilakonkan oleh seluruh elemen warganya. Negeri ini nyaris dan malah sedang di ambang kehancuran yang tidak dapat diperbaiki dalam masa satu atau dua tahun, tetapi satu atau dua generasi.

Fokus persoalan sebenaranya adalah ummat ini apriori terhadap agamanya sendiri sebagai salah solusi bagi persoalan mereka. Mereka terus saja mengais sistem usang untuk dijadikan solusi. Namun faktanya mereka terus saja terpuruk dalam kehancuran yang membuktikan bahwa kesetiaan ummat terhadap Islam ternyata sangat rapuh. Padahal ummat ini adalah kekuatan besar yang sedang tidur dan harus dibangunkan. Ummat harus diberi pengertian bahwa rahasia kekuatan dan kebesaran mereka ada dalam agama mereka, bukan yang lain. Zionisme Israel sebagai contoh, untuk menjarah al-Quds, perlu-perlunya mereka menetapkan kebanggaan terhadap agama, mengusung Taurat dan bersatu barisan dengan dalih bahwa mereka adalah pengikut Musa. Ringkasnya, mereka jarah al-Quds dengan semangat agama. Dan sampai hari ini mereka cukup berhadil mempecundangi ummat Islam. Kenapa? Di saat mereka bangga menyebut diri mereka Yahudi, ummat Islam malah malu diidentifikasikan sebagai muslim. Disaat mereka dengan bangga menyebut diri mereka sebagai pengikut nabi Musa, ummat Islam malah tidak suka disebut sebagai penganut nabi Muhammad saw. Disaat zionis bangga mengusung Taurat, ummat Islam malah semakin jauh dari Al Quran. Dulu Muhammad Abdul pernah mengatakan, “Islam mahjub bi al Muslimin” (Islam tertutupi dengan orang Islam sendiri)

Tugas Ini Berat

Jika dakwah ini hanya menginformasikan Islam kepada ummat manusia. Dengan target jika informasi Islam sudah sampai berarti selesailah dakwah, maka tentu saja Rasulullah tak perlu harus menghadapi begitu banyak rintangan serta memakan waktu yang relatif lama. Atau jika dakwah ini hanya ditujukan agar satu individu akhirnya hanya ber-Tuhan kepada Allah tanpa bersusah payah mengikuti syariah (hukum) Allah, tentu Rasulullah tidak harus sampai berperang melawan musuh, musuh Allah. Dakwah ini bukan ditujukan hanya kepada satu orang atau satu kurun tertentu. Dakwah ini ditujukan kepada seluruh manusia yang lintas etnis, bahasa, bahkan lintas tempat dan zaman.

Dakwah ini tidak dilakukan hanya untuk menegakkan supremasi si pelaku dakwah, atau supremasi kelompok pelaku dakwah. Dakwah harus dilakukan untuk menegakkan supremasi Din-Islam, agama Allah. Dakwah harus terus dilakukan sampai pada akhirnya manusia tunduk dan menerima hukum Allah. Dia harus mengajak manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tahu menjadi beramal, dan dari sekadar beramal sampai akhirnya menjadi sebuah kebiasaan.

Otomatis tugas dakwah itu berat. Dan para aktivis dakwah harus memperhatikan tiga yang hasur dilakukan. Pertama Tilawah al-Ayah atau tazkir. Di sini para aktivis dakwah harus mengingatkan ummat kepada kebesaran Allah, perbuatan Allah, hari-hari Allah, ancaman dan berita gembira dari Allah. Pokoknya berdaya di hadapan Allah. Mereka butuh Allah dan karenanya mereka harus patuh kepada segala perintah Allah. Kedua adalah tazkiyah. Para aktivis dakwah harus mengingatkan bahwa kerusakan hati sangatlah berbahaya. Kerusakan hati akan membawa pengaruh kepada kerusakan amal. Dakwah tidak harus menghasilkan orang yang mengerti belaka, tetapi juga orang yang tulus setelah mengerti. Para aktivis dakwah harus mampu menyajikan menu yang tepat bagi makanan hati. Dan inilah masalah utama yang menimpa ummat Islam di Indonesia hari ini. ketiga adalah Ta’lim al-Kitab dan al-Hikmah. Maksudnya adalah mengajarkan kepada ummat Al Quran dan As Sunnah. Jika tidak ummat akan buta dari agamanya. Mereka akan menjadikan ustadz atau kiyai sebagai rujukan kebenaran perilaku mereka. Padahal ini salah besar. Rujukan kebenaran atas perilaku adalah al Quran dan as Sunnah. Lebih malang lagi jika ummat menjadikan kebiasaan mereka sebagai kebenaran. Tidak tahunya ummat terhadap kebenaran Islam akan berakibat sangat fatal. Ummat akan dengan seenaknya menyandarkan perbuatan mereka sebagai amal Islam, padahal tidak. Seperti menyandarkan bahwa jihad adalah membela kepentingan ulama. Padahal jihad harus membela kepentingan agama Allah. Dalam bahasa Quran, Fii sabilillah (pada jalan Allah).

Para aktivis dakwah memang sulit untuk menggabungkan tiga tugas itu, oleh karenanya mereka harus bekerjasama. Maka aneh jika ada orang yang mengaku sebagai pendakwah di jalan Allah sampai mencaci maki para pendakwah lain yang tidak satu dengannya.

Sekali Lagi, Ini Tugas Berat!

Terbiasalah dalam jamaah, karena tidak mungkin ada manusia hero atau kelompok super yang dapat mengemban tugas dakwah ini secara sendirian. Kita harus bersama. Menurut hemat saya, masing-masing kelompok dakwah memiliki titik tekan yang tidak sama. Selayaknyalah mereka memahami sebuah jargon, “Marilah sepakat dan bekerja sama pada hal-hal yang kita sepakati, serta berlapang dada pada hal-hal yang kita berselisih”. Selama perselisihan bukan pada wilayah yang qat’iyyah (jelas dan pasti). Malang sekali jika sesama aktivis dakwah lebih banyak harus menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dari kalangan mereka sendiri. Aneh sekali jika jamaah dakwah harus kerepotan menyelesaikan persoalan yang muncul dari dalam tubuh mereka sendiri, bukan menyelesaikan masalah ummat.

Tugas dakwah ini berat dan hanya dapat dijalankan oleh mereka yang memiliki kecintaan kepada agama Allah ini. Tugas dakwah ini berat dan hanya mampu dijalankan oleh mereka yang sudah mengikhlaskan dirinya untuk merebut ridho Allah belaka. Dakwah ini berat dan hanya dapat dijalankan oleh mereka yang menyadari bahwa dirinya bukanlah segala-galanya dalam dakwah, dakwah fillah itulah yang segala-galanya bagi dia. Dakwah ini berat dan Anda kan yang mampu mengembannya?

Realitas Dakwah

Oleh : Latif Khan

Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. –Ali Imran : 104

Lebih dari satu milyar penduduk dunia saat ini adalah umat Islam. Jelas ini merupakan jumlah yang cukup fantastis, namun bukan tidak menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Apakah jumlah yang sebanyak itu, mampu menampilkan realitas sesungguhnya agama Islam ataukah tidak. Al Quran menyebut umat Islam adalah umat wasith (pertengahan), sebagaimana disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 143. namun apakah peran itu benar-benar telah dijalankan oleh umat Islam secara sadar? Apakah kehadiran mereka di jagad ini sudah memberikan solusi ataukah malah memperpanjang daftar problematika kemanusiaan?

Sebenarnya, mau tak mau atau suka tidak suka, umat Islam memiliki peran fungsional yang seharusnya signifikan. Mereka harus tampil sebagai “contoh manusia” yang baik. Tidak hanya itu, mereka harus tampil membawa, mengajak ataupun menyeru manusia secara sadar tampil memerankan kebaikan itu.

Keutamaan umat ini tidak terletak pada banyaknya orang yang bangun untuk sholat malam, keutamaan umat ini tidak hanya terletak pada banyaknya manusia Islam yang menyendiri dan mendendangkan asma Allah sampai syath (ekstase). Tidak, Islam tidak butuh rahib-rahib. Keutamaan umat ini terletak pada seberapa banyak ajaran Islam telah hidup menjadi amal umat, serta berapa banyak dan berapa tekunnya umat ini menyeru manusia kepada Islam.

Dakwah itu tidak bisa sendiri

Serangan terhadap dakwah Islam sebenarnya berlangsung cukup intens. Dari kubu jahiliyah, dengan memanfaatkan kelemahan melalui pintu syahwat, jahiliyah menyebarkan secara luas hedonisme dan permisivisme sebagai gaya hidup yang dianggap moderen. Sementara di bidang politik, jahiliyah sepakat untuk mengharamkan agama sebagai solusi. Selanjutnya di bidang pendidikan moral, Islam dibunuh dan diganti dengan moral relatif yang “banci nilai”. Puncaknya jahiliyah mengharapkan agar Islam cuma sekadar menjadi tiket pribadi seseorang untuk menyelamatkan dirinya dari azab neraka. Islam tidak perlu sibuk untuk mengurusi kehidupan manusia.

Dari kubu musuh Islam yang lain – apakah yang mengusung panji agama atau kemusyrikan – Islam dan umatnya harus terus dimandulkan perannya. Secara sistematis diopinikan bahwa mustahil Islam dapat menjadi solusi problematika umat manusia. Oleh karena realitas umat Islam itu sendiri penuh dengan borok kemanusiaan. Nyaris tidak bumi Islam yang menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya. Realitas umat hari ini, jika tidak miskin, pastilah bodoh atau suka bertengkar.

Umat harus menjawab, harus ada dai dari umat ini yang menjawab. Tapi tidak mungkin sendiri-sendiri. Umat harus bekerja di jalan dakwah dengan membentuk kerjasama team. Gaya dakwah infiradiyah tidak akan mampu menjawab tantangan dakwah yang mudak ini. Boro-boro berhasil, para dai lebih sering terjebak dalam ananiyah (egoisme) dan kesembronoan. Yang paling malang, mereka terjebak untuk tidak lagi mendakwahkan Islam, tetapi sekadar mendakwahkan diri mereka sendiri.

Umat juga harus paham bahwa kerja dakwah bukan hanya kerja sekelompok tertentu yang memiliki kepintaran berbicara atau berpidato. Dakwah itu bukan seseorang yang sedang berpidato dan didengarkan oleh sekian orang. Tapi dakwah itu adalah menuju Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan dengan debat terbaik, hingga dibencilah taghut dan dicintailah Allah sebagai Ilah. Untuk ini dakwah dapat dilakukan dengan banyak cara. Rasulullah saw tidak membiarkan dakwah sebagai retorika bicara, tapi ia sekaligus sebagai contoh dan mengajak para sahabatnya menjadi dai. Bahkan tidak hanya sekali dua, dakwah itu dilakukannya dengan peperangan.

Membiarkan segelintir orang berdakwah melalui omongan atau lisan akan membahayakan. Oleh karena banyak orang yang mengambil profesi sebagai juru dakwah atau didaulat umat sebagai ustadz, namun tidak memiliki literatur yang cukup dalam penguasaan dakwah. Akhirnya mereka hanya memasrahkan pada kemampuan mengemas bicara mereka sehingga menjadi menarik, namun kering dari pesan yang seharusnya ditumbuhkan. Atau mereka cukup menguasai bicara mereka, namun tanpa pemahaman bahwa mereka harus mengenalkan Islam secara komprehensif. Gagalnya dakwah hari ini adalah ketika ada sementara orang disebut sebagai ustadz, mualim atau kiyai menjadi juru dakwah, sementara umat disisi lain menjadi obyek yang didakwahi. Padahal hakekatnya semua umat ini adalah dai sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang mereka miliki.

Menjadi dai tidak harus menjadi ulama

Oleh karena itu menjadi dai tidaklah harus menjadi ulama. Tukang beca atau guru, pedagang atau buruh, serta banyak profesi cari makan lainnya, sebenarnya dapat dengan langsung menerapkan nilai Islam di dalamnya. Seluruh umat adalah dai, walaupun memang harus ada kelompok tertentu yang secara serius dan professional menyediakan diri untuk menghidupkan dakwah Islam. Mereka ini harus memetakan keadaan umat secara internal, problema yang dihadapi serta bagaimana menghadirkan Islam sebagai solusi. Mereka ini tidak harus ulama, tapi bukan lantas berdakwah tanpa pengetahuan. Ulama adalah tempat bertanya urusan Islam, sedangkan para dai dimaksud adalah orang yang bekerja menghidupkan islam sebagai sebuah realitas yang hadir pada seluruh sisi kehidupan manusia. Itulah kenapa, dibutuhkan kerjasama seluruh komponan umat yang beragam skill untuk mendukung dakwah ini.

Dakwah itu indah tetapi tidak mudah

Bagaimana tidak, Allah membeli dari mereka yang telah menyediakan diri mereka di jalan dakwah dengan syurga (At Taubah 111). Namun resiko dakwah juga tidak kecil. Bala tentara jahiliyah tentunya tidak akan diam. Pada titik terendah mereka dapat saja membiarkan dakwah Islam hidup tanpa wacana jihad. Sementara di titik lain, mereka menginginkan umat tahu bahwa mereka Islam, tanpa kesetiaan lagi kepada Islam.

Di jalan dakwah ini banyak yang gugur. Gugur karena futur atau gugur karena tekanan dari musuh dakwah. Ustadz Musthafa Masyhur pernah mengatakan bahwa di jalan dakwah ini telah banyak dai yang syahid dengan mengorbankan jiwa dan raga mereka. Resiko itu mereka ambil oleh karena janji Allah.

Jadi, hidup dan menjadi dai adalah nikmat yang dikaruniakan Allah tidak kepada sembarangan orang. Namun syaratnya cukup ringan, Anda siap mengorbankan diri dan harta Anda di jalan Allah. Andakah orangnya ? wallahu a’lam. Bantuan

Tidak ada komentar: