Jumat, 22 Juni 2007

Bekal Ruhani Juru Dakwah

Bekal Ruhani Juru Dakwah

(Muraqabah dan Muhasabah)

Orang-orang yang memiliki bashirah mengetahui, dari sejumlah hamba, bahwa Allah menguasai mereka, bahwa mereka akan ditanya dalam proses hisab dan akan dituntut dengan barbagai tuntutan yang sedetil-detilnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali luzum al muhasabah (muhasabah secara terus-menerus), shidq al muraqabah (muraqabah secara benar), muthalabat al nafs (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak, dan muhasabah terhadap jiwa dalam semua hal dan keadaan.

Said Hawwa

Allah tidak memberikan semua karuniaNya kepada kita dengan gratis (Al Mu’minun 115-116) hanya manusia mu’min dan yang mengerti saja, yang akhirnya mengetahui bahwa segala karunia Allah harus disyukuri. Syukur dilandasi pada lima segi yaitu orang yang bersyukur tunduk kepada yang disyukuri, mencintaiNya, mengakui nikmatNya, memujiNya karena nikmat itu dan tidak menggunakan nikmat itu untuk sesuatu yang dibenciNya (Ibnu Qayyim “Madarij al Salikin”). Pertanyaannya, apakah kita sudah bersyukur sebagaimana layaknya?

Saudara Pembaca, telah banyak usia kita habiskan, ada usia yang saat itu kita sepenuhnya berada dalam pengawasan Allah. Itulah usia kita di saat kita berada dalam rahim ibu kita.proses-proses usia di alam rahim itu sepenuhnya di bawah karunia sifat rahman dan rahim Allah. Akhirnya lahirlah kita ke muka bumi yang fana ini, Allah-pun menitipkan sedikit rahim-Nya kepada kedua orang tua kita. Mulailah orang tua kita menjaga dan memelihara kita dengan perlakuan yang tak mungkin kita balas sampai kapanpun. Kita yang waktu itu adalah anak manusia yang masih sangat asing dengan kehidupan dunia ini, masih sangat lemah. Segala keinginan kita, kita tunjukkan dengan amat sederhana, menangis. Masa-masa itu diesbut dengan masa fithrah, masa dimana Allah memaklumi segala keadaan kita, sehingga kita belum layak diberi taklif. Kemudian sampailah kita kepada usia yang lain lagi, usia dimana kita sudah mampu memfungsikan akal fikiran kita. Namun aneh, kitapun mulai menikmati segala dosa dan maksiat. Ada dua pintu yang secara rutin sering kita lalui, yaitu pintu syahwat dan pintu syubhat. Pintu syahwat sering mengantar kita bermaksiat, sementara pintu syubhat mengajak kita untuk berbuat bid’ah, kurafat dan takhyul. Aku tidak memaksudkan bid’ah di seputar sholatmu saja, tetapi juga pada seluruh aktifitas hidupmu. Tidak pedulinya engkau pada penegakan yang ma’ruf dan menghancuran yang munkar adalah bid’ah yang secara merata telah menimpa ummat pada hari ini.

Padahal Rasulullah saw dan para sahabat beliau begitu concern menegakkan yang ma’ruf dan menghancurkan yang munkar. Sekali waktu mereka duduk berhalaqah untuk merenungkan ayat-ayat Allah, mentazkiyah hati mereka. Di waktu lain mereka kelihatan menangis dalam sholat-sholat mereka. Adapula waktu di mana mereka gagah berani bertempur melawan musuh Allah. Bahkan tidak sedikit kita yang melihat mereka begitu berani berinfak.

Saudara pembaca, bagaimana dengan kita, apakah kita masih memiliki halaqah yang menggelorakan kecemburuan kita kepada agama ini?atau apakah kita masih memiliki malam-malam ini untuk tafakkur, tazakkur, tadabbur dan tazkiyah. Bagaimana kita sampai mampu menatapi jejak dakwah mereka, sementara kita masih bermalas-malas, ruang hati kita masih sepi dari perasaan muraqabah. Tidak aku tujukan taujih ini untuk kalian, melainkan untukku yang masih sangat faqir dalam segala seginya. Semoga Allah mengaruniakan hati-hati yang bersih kepada kita semua. Aku memilih tema taujih kita ini, muhasabah dan muraqabah, adalah karena dua hal ini adalah kebiasaan baik yang harus kita bangunkan untuk membangun quwwat al-ma’nawiyah. Bukankah kita ngat memerlukan kekuatan mentalitas? Semoga Allah menunjuki kita semua.

Muhasabah

Ibn al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin menjelaskan bahwa muhasabah itu adalah membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi kewajibannya, lalu ia memegang erat haknya dan menunaikan kewajibannya, karena sedang bepergian yang seakan-akan sudah tidak akan kembali lagi. Muhasabah dilakukan pertama sebelum taubat, hukumnya wajib. Yang kedua muhasabah setelah taubat, ini merupakan hal yang harus dipelihara (Qs al Hasyr : 18).

Ibn Qayyim menjelaskan bahwa: maksud “memperhatikan” ini ialah apa yang diwajibkan kepadanya seperti kesempurnaan persiapan untuk menghadapi hari kiyamat, mendahulukan sesuatu yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, dan menjadikan wajahnya putih di sisi Allah. (Ali Imran:106-107)

Selanjutnya, muhasabah memiliki tiga rukun. Yang pertama adalah hendaklah kita memiliki kemampuan membandingkan antara nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita dan berapa banyak pula kejahatan yang telah kita lakukan. Dengan melakukan perbandingan ini kita dapat memahami siapa kita di hadapan Rabb al-Alamin.kita adalah hamba dengan segala atribut kelemahan, sementara Allah adalah Tuhan dengan segala kesempurnaan. Dalam satu istighfar kita terdapat satu pernyataan: “Abu’u laka bini’matika alayya wa abu’u bizanbi ..” artinya “Aku kembali kepadaMu dengan ni’matMu kepadaku dan aku kembali dengan membawa dosaku”. Lihatlah istighfar itu ternyata sampai kapanpun kita tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari nikmat Allah, sementara kita terus mengotori nikmat itu dengan segala kejelekan kita.

Pembaca, rukun yang pertama tadi sulit sekali dilakukan kecuali oleh mereka yang memiliki nur al-hikmah (cahaya hikmah), su’u al-dzan bi al-nafs (buruk sangka pada diri sendiri), tamyiz min al-ni’mah min al-fitnah (membedakan nikmat dengan fitnah). Jika ketiga hal di atas telah sempurna pada kita maka mudahlah kita untuk membedakan antara nikmat dengan bala. Jangan sampai pemberian Allah yang semula adalah nikmat berubah menjadi hujjah Allah atas kita, oleh karena ketidakmampuan kita untuk mensyukurinya. Berapa banyak orang yang mengira masih berada dalam karunia Allah, padahal dia sudah “dilulu” oleh Allah.

Selanjutnya rukun kedua muhasabah adalah membedakan apa yang menjadi hak Allah atas diri kita. Hak Allah meliputi kewajiban ‘ubudiyah, melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat. Oleh karena itu tunaikanlah kewajibanmu, niscaya Allah akan berikan apa yang menjadi hakmu. Dan yang ketiga adalah jangan pernah puas dengan ketaatan yang telah kita lakukan. Kepuasan hanya akan menghasilkan kibr, ujub (bangga diri), dan riya. Padahal itu bukan hak kita, itu hak Allah. Puas adalah ketololan dan kebodohan. Dengan demikian, jelaslah bahwa muhasabah ini menjadikan kita hamba yang lembut dan takut di hadapan Tuhannya.

Tidak ada komentar: