Senin, 25 Juni 2007

Kritik Terhadap Abu Zayd

”Telah Terbit, Buku Kritik terhadap Abu Zayd” Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Sabtu, 12 Mei 2007

Buku ”Al-Quran Dihujat” mengulas si penghujat Al-Quran garda depan, Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-194

Oleh: Adian Husaini

Bulan Mei 2007 ini, peneliti INSISTS, Henri Shalahuddin MA telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Al-Quran Dihujat” (Jakarta: GIP). Buku ini sangat penting dalam perspektif kajian pemikiran Islam di Indonesia saat ini. Secara umum, buku ini berisi kritik terhadap pemikiran Prof. Nasr Hamid Abu Zayd, pakar sastra Arab Mesir yang terkenal dengan teorinya bahwa Al-Quran adalah produk budaya Arab. Dari isi dan literatur rujukannya, tampak buku ini dipersiapkan cukup serius. Berbagai karya Abu Zayd ditelaah dan diberikan kritiknya.

Abu Zayd memang telah divonis murtad oleh Mahkamah di Mesir, dan kemudian lari ke Belanda. Di negara kolonial inilah, Abu Zayd diberi tempat terhormat sebagai guru besar ilmu Al-Quran di Universitas Leiden. Dari sini pula Abu Zayd mengkader lusinan dosen UIN/IAIN untuk menyebarkan pahamnya di Indonesia.

Karena itu, tidak heran, jika hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang paham Liberal keagamaan di sekitar kampus UIN Yogya menyatakan, bahwa bagi kaum liberal: ”Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.”

Buku-buku Abu Zayd memang sudah banyak yang diterjemahkan di Indonesia. Dalam salah satu buku terjemahan karya Abu Zayd berjudul ”Hermeneutika Inklusif” terbitan ICIP, Nash Hamid Abu Zayd dimasukkan ke dalam ketegori ”pemikir pemberontak” (dissident Muslim thinkers). Tetapi, ditulis di sini, bahwa ”Julukan pemikir pemberontak ini tidak dimaksudkan sebagai julukan yang negatif, akan tetapi ditujukan untuk menamai sebagian kelompok pemikir Islam yang memiliki pemikiran terobosan dan cenderung melakukan reformasi terhadap status quo pemikiran Islam. Corak pemikiran seperti itu, tidak hanya dibutuhkan pada masa transisi, akan tetapi juga sangat dibutuhkan pada masa stabil.”

Itulah penghormatan terhadap Abu Zayd yang dilakukan oleh sebuah lembaga penyebar paham Pluralisme Agama pimpinan Dr. Syafii Anwar tersebut. Salah satu pemuja Abu Zayd yang terkenal adalah Rektor Uin Yogya, Prof. Dr. Amin Abdullah. Itu bisa dilihat dalam bukunya yang berjudul ”Islamic Studies di Perguruan Tinggi” (2006). Kini, berbagai kampus di Indonesia memang sudah mulai dijejali dengan pemuja Abu Zayd. Bahkan, pendapat-pendapatnya sudah mulai diekspose melalui media massa.

Sejumlah murid kesayangan Abu Zayd pun sudah menduduki pos-pos terhormat sebagai dosen-dosen ilmu Al-Quran di UIN Jakarta dan UIN Yogya. Mereka leluasa mendiktekan pemikirannya kepada para mahasiswa, dan bahkan berwenang menyusun kurikulum dalam studi Al-Quran yang sejalan dengan pemikiran Abu Zayd. Kaum Muslimin di Indonesia, banyak yang tidak menyadari masalah besar ini dan membiarkan anak-anaknya dicekoki paham Abu Zayd.

Penulis buku ini, Henri Shalahuddin, yang merupakan alumnus pesantren Gontor Ponorogo dan kini aktif sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir Jakarta, berhasil membongkar kekeliruan pemikiran Abu Zayd dan menyimpulkan, bahwa yang dilakukan Abu Zayd beserta para pemujanya di lingkungan UIN/IAIN lebih merupakan hujatan terhadap Al-Quran, bukan merupakan kajian ilmiah yang ikhlas dan serius. Karena itulah, dia tidak ragu-ragu untuk menyatakan, bahwa apa yang dilakukan Abu Zayd dan para pemujanya adalah sebuah upaya mengujat dan merusak Al-Quran.

Menurut penulis buku ini, dewasa ini, Al-Quran dihujat tidak hanya secara fisik, tapi juga melalui penyelewengan konsep wahyu dan metodologi tafsir. Penghujatan Al-Quran yang saat ini marak dilakukan bukan dengan membuang mushaf ke toilet, atau menginjak dan membakarnya di depan kaum Muslimin. Penghujatan Al-Quran non-fisik, dilakukan dengan menggunakan ‘metode ilmiah’ yang tidak mudah dipahami dan disadari oleh kebanyakan kaum Muslimin. Sebab, banyak di antara pelakunya adalah cendekiawan dengan titel professor, doktor maupun rektor, sehingga banyak yang kemungkinan mudah tertipu dan menyangkanya sebagai suatu kebenaran ilmiah.

Dan Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd adalah salah satu garda terdepan penghujat Al-Quran saat ini. Tokoh liberal kenamaan asal Mesir ini kabur dari negaranya, setelah pengajuan kepangkatan gelar proffesor ditolak, karya-karyanya dinilai tidak bermutu dan bahkan cenderung melecehkan ajaran Islam, Rasulullah saw dan Imam Syafii. Menyusul setelah itu, vonis mahkamah yang memutuskan bahwa dirinya telah murtad. Dia pun kabur ke Belanda dan di sana memperoleh penghargaan layaknya seorang pahlawan.

Di samping memandang Al-Quran sebagai produk budaya, Abu Zayd juga memposisikan Al-Quran sebatas teks manusiawi (nash insani), teks linguistik (nass lughawi) dan fenomena sejarah (zhahirah tarikhiyyah). Sebagai teks linguistik, misalnya, Abu Zayd mengklaim bahwa Al-Quran terpengaruh oleh tradisi dan budaya Arab pra-Islam. Sebab baginya, dengan menggunakan bahasa Arab, berarti wahyu tidak turun ditempat yg hampa. Ibarat kata pepatah, bahwa bahasa menunjukkan budaya, maka demikian halnya dengan Al-Quran.

Sebagai teks manusiawi, kata dia, kebenaran Al-Quran yang bersifat mutlak hanya berada di lauhul mahfuzh. Namun kebenaran yang mutlak tersebut menjadi relatif ketika masuk dan berinteraksi dengan akal pikiran manusia. Dengan demikian, seorang Muslim tidak boleh mengklaim bahwa pemahamannya terhadap Al-Quran lebih benar dari orang lain, atau bahwa pemahamannya sudah sesuai dengan apa yang dimaui oleh Tuhan. Karena manusia adalah relatif, maka kebenaran yang dicapainya pun juga relatif. Sehingga Abu Zayd mengkategorikan orang yang mengatakan bahwa kebenaran Al-Quran yang dia pahami adalah absolut, berarti telah menyamakan dirinya dengan Tuhan.

Ide Abu Zayd tentang teks manusiawi ini, --di samping ide-idenya yang lain--, banyak diminati dan dipropagandakan oleh para tokoh-tokoh Islam yang menganut pada paham relativisme kebenaran. Sebuah paham yang mendasari aliran-aliran liberalisme, sekularisme, feminisme dan pluralisme agama.

Sebagai teks manusiawi dan teks linguistik sekaligus, Abu Zayd mendudukkan Al-Quran sama seperti Bibel yang semua isi ajarannya tidak harus diterapkan. ”According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man.” (Abu Zayd, Voice of an Exile: 174-5).

Sehingga tidak aneh, jika Abu Zayd lalu menggugat pengharaman homoseksual dan mengecam keras orang yang masih menganggapnya sebagai prilaku menyimpang (voice. hal 89). Karena menurutnya, haramnya homoseksual lebih karena konteks lokalitas budaya. Sehingga, di bukunya yang lain, al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aidiyulujiyyah al-Wasathiyyah, dia menyeru umat Islam untuk meninggalkan Al-Quran dan Hadits, karena dianggapnya telah memasung kebebasan akal manusia (hal.146)

Tidak puas menghujat Al-Quran, Abu Zayd juga menghujat para ulama yang menjunjung tinggi kewahyuan Al-Quran. Di antara ulama yang dijadikan sasaran hujatannya itu adalah Imam Syafi’i. Beliau dituduh sebagai ulama oportunis yang suka bekerjasama dengan penguasa demi mendapatkan dunia. Beliau juga dituduh telah mengangkat kedudukan hadits, sehingga menjadi kitab nomor dua setelah Al-Quran di mata kaum Muslimin. Lebih dari itu, Imam Syafi’i juga dituduh menyebarkan hegemoni suku Quraisy atas suku-suku Arab lainnya dalam agama Islam, terkait dengan pandangan beliau tentang bahasa Arab Al-Quran.

Dengan keberanian Abu Zayd dalam menghujat Al-Quran dan Imam Syafii, jangan heran, jika kaum liberal di Indonesia pun menyambut pendapat Abu Zayd dengan gegap gempita dan menganggapnya sebagai tokoh hebat. Selain di ruang-ruang kuliah di bangku UIN/IAIN/STAIN dan sebagainya, para penganut dan pemuja Abu Zayd pun sudah berani secara terbuka menghujat Al-Quran melalui media massa. Koran Tempo, (4/5/2007) menurunkan sebuah artikel berjudul ”Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah”, yang memaparkan bahwa Al-Quran adalah karya bersama antara Allah, Roh Kudus dan Muhammad.

Sebelumnya, telah berjubel artikel, buku, makalah seminar dan sebagainya yang cenderung menghujat Al-Quran. Ternyata jika diteliti, ujung-ujungnya, yang dijadikan rujukan para penghujat Al-Quran itu adalah Abu Zayd. Bahkan, saat Abu Zayd berkunjung ke Indonesia, di antara aktivis liberal di Indonesia, ada yang begitu memujanya, sampai-sampai menuliskan kekagumannya tentang selera makan Abu Zayd dan cara memilih toilet. (Lihat, buku ”Al-Quran Dihujat”, hal 96). Sebuah alasan yang tidak seharusnya dilakukan oleh kalangan yang mengidentitaskan dirinya dengan sikap rasional dan keterbukaan.

Bahaya terbesar dari penghujatan Al-Quran non-fisik adalah menyesatkan akal pikiran umat Islam yang hendak kembali pada ajaran Al-Quran dan Hadits secara benar. Sebab konsep wahyu Al-Quran yang bersifat final dan universal untuk segala tempat dan zaman akan digeser dengan konsep evolusi Darwin. Dengan itu, kebenaran Al-Quran hanya bersifat temporal dan lokal, khusus untuk suatu masa, bangsa dan tempat tertentu. Begitu juga, hukum-hukum Islam akan dinilai sebagai hukum yang bersifat temporal dan spatial, hanya berlaku untuk kurun waktu dan tempat tertentu. Maka, mereka rajin membuat perbedaan, bahwa ajaran dan hukum-hukum Islam harus ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan zaman.

Abu Zayd juga seorang hermeneut, yaitu pengguna hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran. Metodologi tafsir Al-Quran yang telah dikembangkan oleh para ulama berwibawa yang memperhatikan segala aspek dalam memahami Al-Quran digusur dengan metodologi hermeneutika produk Yahudi dan Kristen. Padahal, metode tafsir Al-Quran jauh lebih ilmiah, dibanding teori interpretasi hermeneutika yang tengah dikembangkan neo-orientalis di berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Inilah sesungguhnya salah satu tantangan kontemporer yang terbesar yang dihadapi umat Islam Indonesia dewasa ini.

Umat Islam saat ini memerlukan puluhan ribu hujjatul Islam, syeikul Islam dan generasi Al-Quran yang memperjuangkan ajaran Islam secara kafah dalam menghadapi perongrongan global akidah dan syariat Islam. Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, dalam bab tanda-tanda ulama baik dan ulama jahat, Imam Ghazali dalam bukunya, Ihya ’Ulumiddin dan Abu Thalib al-Makki, dalam bukunya, Qut al-Qulub, menjelaskan ragam golongan manusia dengan menukil pendapat Al-Khalil ibn Ahmad yang mengatakan:

"Manusia itu empat golongan: 1) orang yang tahu, sedang dirinya tahu (menyadari) bahwa dirinya tahu, dia itulah si cerdik pandai ('alim), maka ikutilah dia. 2) orang yang tahu, sedang dirinya tidak tahu (tidak menyadari) kalau dirinya tahu, dia itu ibarat orang yang tidur, maka bangunkanlah ia. 3) orang yang tidak tahu, sedangkan dia tahu bahwa dirinya tidak tahu, dialah si pencari pentunjuk (mustarsyid), maka berilah dia petunjuk (bimbingan). 4) orang yang tidak tahu, sedangkan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu, itulah orang jahil, maka tolaklah (hindarilah, abaikanlah, atau sangkallah) ia.

Mengembalikan kejayaan Islam, harus dimulai dari pembangunan budaya ilmu. Adalah sangat celaka jika ilmu-ilmu agama telah dirusak oleh orang-orang yang menduduki posisi-posisi terhormat sebagai dosen-dosen bidang Al-Quran di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam. Kita patut meratapi nasib mahasiswa-mahasiswa Islam yang kini menimba ilmu-ilmu keislaman di berbagai kampus berlabel Islam, karena dipaksa mengikuti pemikiran-pemikiran yang merusak keyakinan mereka sebagai Muslim. Al-Quran yang dipahami oleh umat Islam sebagai wahyu Allah yang suci dihujat oleh agen-agen neo-orientalis seperti Abu Zayd dan para anak buahnya di Indonesia. Sementara itu, pemerintah dan pimpinan kampus mendiamkan saja masalah ini.

Maka, kita tidak perlu heran, jika setiap tahun ribuan orang belajar di fakultas ushuluddin dan fakultas syariah, tetapi justru dari situ pula muncul sejumlah orang yang aktif menolak aqidah dan syariah Islam. Dalam bukunya ini, Henri Shalahuddin telah membuka mata kita akan satu tantangan yang sangat besar yang dihadapi oleh umat Islam. Dia pun memberikan jawaban-jawaban yang jitu yang menunjukkan dimana kelemahan pendapat Abu Zayd dan pemujanya di lingkungan UIN/IAIN saat ini. Semoga buku ini memberi manfaat besar dalam pengembangan studi pemikiran dan peradaban Islam di Indonesia. Juga, semoga para pemuja Abu Zayd bertobat dari kekeliruannya dan menghentikan aksi-aksinya dalam menghujat Al-Quran. Tugas kita hanyalah mengingatkan. Masing-masing kita bertanggung jawab atas amal kita masing-masing. [Depok, 11 Mei 2007/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Tidak ada komentar: