Jumat, 22 Juni 2007

Wahai Ulama, Dimanakah Kalian?

Wahai Ulama Dimanakah Kalian

... dan sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun - Al Fathir : 28

Sejarah umat Islam sebenarnya ditandai dengan jatuh bangunnya peran ulama. Terkadang para ulama mampu memerankan diri sebagai pelita umat maupun garam umat. Sebagai pelita umat maksudnya adalag bahwa para ulama mampu memberikan rambu-rambu yang benar mengarahkan umat ini menuju kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat. Sedangkan sebagai garam umat maksudnya adalah bahwa ulama mampu berperan sebagai mereka yang merawat agama dengan variasi yang benar dan tidak monoton, namun tetap berada dalam koridor syar’i.

Ada saat dimana para ulama tidak mampu berperan maksimal. Sebagai pelita ia telah padam, dan sebagai garam ia telah rusak. Sinyalemen kerusakan peran fungsional ulama adalah munculnya kerusakan umat serata merata. Bagaimana dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini? Ada beberapa indikator yang dapat dan layak diperhatikan.

Yang pertama adalah semakin mudahnya rambu-rambu moralitas dilabrak. Moralitas sebagai seorang diri, sebagai bagian dari keluarga, bagian dari masyarakat, konon lagi sebagai bagian dari pemerintahan. Umat tengah asyik-asyiknya menyembah syahwat. Padalah “kapal Indonesia” ini tengah menluncur ke titik kehancuran. Tawuran adalah fenomena yang wajar. Baik tawuran pelajar, tawuran kampung, tawuran etnis, sampai pada tawuran agama. Hasilnya adalah darah, air mata, hancurnya fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan yang tidak mungkin diganti dalam setahun dua. Tidak sedikit orang dengan sangat amat tak berperasaan yang mempraktekkan gaya hidup mewah disaat jutaan bangsa ini sudah menderita kemiskinan. Dan amat malangnya, gaya dimaksud dicontohkan langsung oleh tokoh formal puncak negeri ini yang diantara buktinya selalu berpelesir ke berbagai negara dengan tujuan tak jelas. Dan mala berkelit dibalik kebijakan politik yang disebutnya “good brotherhood policy”, suatu kebijakan politik akal-akalan.

Kriminalitas, tipisnya persaudaraan, potensi disintegrasi, semakin meratanya kemiskinan, kebodohan umat dari agama, adalah tanda merapuhnya peran ulama. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidaklah ilmu itu diangkat sekaligus dari dada-dada manusia. Melainkan ilmu diangkat dengan cara mematikan ulama. Dan jika sudah tidak ada orang alim, maka dianggap orang jahil sebagai pemimpin umat. Dan jika ditanya atas berbagai persoalan maka dijawabnya dengan seenaknya. Tentu saja jawaban yang menyesatkan”

Ulama Itu Pewaris Nabi

Sekarang ada orang yang disebut ulama, namun bergaya hidup konglomerat. Atau umatnya masih selalu sungkem oleh karena disebut ulama, namun bergaya hidup bak politisi. Saat lain malah ada yang bergaya hidup preman. Kiranya gaya-gaya hidup dimaksud tidak sepenuhnya dapat disalahkan karena jika semua itu diperoleh dengan cara yang benar, dan mereka tidak meninggalkan fungsi keulamaan sesungguhnya. Ulama adalah pewaris nabi. Mewarisi ketulusannya dalam berdakwah, mewarisi kelembutan dan keluhuran akhlaqnya, mewarisi keberanian dan ketegasannya, kesantunan dan ketabahannya, dengan kata lain ulama mewarisi seluruh kepribadian nabi.

Faktanya, dewasa ini jauh panggang dari api. Benar saja terdapat mereka yang masih mengenakan sorban, jubah dan kitab-kitab, namun bicaranya dan akhlaqnya sudah mengkhawatirkan. Tidak sedikit mereka merupakan bagian dari masalah umat hari ini. mereka turut memprovokasi umat untuk bertindak emosional dan jauh dari agama. Oleh umat mereka diposisikan yang benar dalam bertindak dan berkata. Padahal parameter kebenaran adalah sejauhmana kesesuaian mereka dengan Al-Quran dan Sunnah.

Pelajaran Dari Ulama Salaf

Mereka adalah manusia dengan jiwa-jiwa istiqomah, sabar dan berani. Serta tidak larut dalam kilau sinar kemewahan dunia. Walau dunia terus mengetuk pintu rumah mereka. Tidak sekali dua mereka diuji dengan tawaran para penguasa, baik yang betul bersimpati atau yang hanya mencari dukungan politik semata.

Malik bin Anas adalah ulama yang berulang kali khalifah datang kerumahnya dan memberikan segala kesenangan dan janji baik, namun beliau mengira lebih nikmat untuk tetap tinggal dan mengajar di Masjid Nabi. Berulang kali khalifah mengujinya dengan tawaran kenikmatan namun ditolaknya dengan halus. Lain halnya dengan Imam Ahmad bin Hanbal, seorang yang kokoh dan tegas mempertahankan kebenaran. Ia rela dihukum penjara serta disiksa demi mempertahankan kebenaran daripada mengikut aqidah sesat yang coba dipaksankan melalui penguasa. Begitu juga yang dialami Ibnu Taimiyah dan lainnya.

Di era modern, ditemukan nama Omar Mukhtar, ulama sufi yang dijuluki Singa Padang Pasir yang menggerakkan jiwa jihad umat di Libya agar mengusir penjajah Italia. Ada pula Syekh Muhammad Rasyid Ridha yang menggeluti pemikiran Islam namun tetap concern menyahuti gerakan shahwah al-Islamiyah (kebangkitan Islam). ada pula Hasan al-Banna yang konsistensinya dalam dakwah berakhir dengan pembunuhan terhadap dirinya dan saudara-saudaranya. Dari Indonesia, ada nama HAMKA yang mendapat perlakuan kejahatan politik dua rezim Soekarno dan Soeharto. Lalu M. Natsir yang dalam menegakkan dakwah ini selalu ditekan oleh para penguasa. Mereka semua adalah mutiara umat yang terus menjadi penyangga bagi tegaknya tiang dakwah Islam.

Realitas Hari Ini

Di saat negeri ini dipimpin oleh penguasa, yang menurut sebagian orang adalah ulama bahkan wali. Peran ulama ternyata semakin meredup, bahkan tidak sedikit yang kehilangan kharismanya.

Ulama kehilangan fungsi Tadzkir (mengingatkan orang kepada Allah), Ta’lim (mengajarkan pada Al-Quran dan Sunnah) dan Tazkiyah (membersihkan hati). Ulama memiliki selera yang sama rendahnya dengan umat yang seharusnya dia bina. Mereka menyenangi syahwat secara berlebihan, bergaya hidup mewah dan miskin akhlak al-karimah. Fatwa-fatwa mereka cenderung mendukung kepentingan segelintir orang. Pembelaan mereka tidak lagi objektif kepada Islam, tapi sudah atas kepentingan satu orang atau satu kelompok. Bahkan penyebutan keulamaannya lebih suka ditambah embel-embel kelompok atau lainnya, tapi bukan sebagai yang dimaksud Islam.

Bukan tidak ada yang masih tulus menjaga dan memelihara warisan nabi dengan baik. Namun mereka semakin jauh dari sorotan kehidupan. Mereka menyingkir atau disingkirkan, namun secara tabi’ah umat masih mencari dan belajar kepada mereka. Mereka takut kepada Allah bukan kepada penguasa. Sebagaimana pernyataan Abu Dzar al Ghiffari kepada Usman bin Affan, “Ridho Allah dengan murkamu lebih kusukai daripada ridhomu dengan kemurkaan Allah”.

Wahai ulama dimana kalian? Hari ini bangsa ini membutuhkan fatwa-fatwa yang sejuk dan mendamaikan. Wahai ulama dimana kalian? Hari ini bangsa telah letih dan butuh banyak arahan serta contoh moral. Wahai ulama dimana kalian? Negeri ini butuh ketegasan dan ketegaran jiwa-jiwa kalian untuk menggempur kezaliman yang sedang merajalela. Wahai ulama dimana kalian? Kami rindu ketulusan kalian, kesantunan kalilan kami rindu ketegasan kalian dalam mengajarkan kami tentang Islam, kami rindu coontoh dari kalian ketiak kami bingung harus berakhlak seperti apa, kami rindu kalian. Wahai ulama dinama kalian?

Tidak ada komentar: