Sabtu, 23 Juni 2007

Ramadhan Bulan Tarbiyah

Ramadhan Bulan Tarbiyah

Oleh: A. Latif Khan

Bukan tidak mungkin kita melakukan segala ritualitas Ramadhan yang meliputi puasa, membaca Quran, shadaqah dan lainnya namun tidak merasakan sedikitpun kelezatan Ramadhan. Kelezatan dimaksud meliputi suasana nikmat menjalankan setiap ibadah di bulan Ramadhan, serta dirasakan adanya peningkatan maupun perubahan diri selama di bulan ini.

Persoalannya bukan pada Ramadhannya, tetapi pada kita sendiri. Mungkin akan kita katakan bahwa kita telah siapkan segala yang diperlukan sehingga kita bisa menjadi yang terbaik selama menjalankannya. Namun tetap saja kelezatan itu susah didapatkan. Maka jawabnya tetap sama yaitu kita memiliki persoalan diri pada diri kita sendiri.

Persoalan itu meliputi persoalan paradigma berfikir kita yang tentu saja berimbas pada iklim Ramadhan yang akan kita rasakan. Selanjutnya kita memiliki persoalan pada ruhaniah kita sehingga sebesar apapun persiapan yang kita lakukan tidak akan menjadikan kita mudah merasakan kelezatan Ramadhan yang telah kita rindukan. Selanjutnya adalah faktor X yang secara langsung atau tidak, akan memberikan pengaruh pada diri kita. Oleh karena itu kita harus memulai persiapan Ramadhan dari diri kita sendiri.

Kita harus merasakan Ramadhan sebagai bulan tarbiyah dimana ruang pemikiran kita harus dipenuhi kesadaran bahwa kita sekarang sedang mengikuti suatu training yang hanya diikuti oleh manusia mukmin unggulan. Masa training dalam bulan ini dibagi dalam tiga fase.

Fase pertama adalah fase rahmah. Di fase ini kita tidak perlu takut tertinggal karena secara langsung kita akan diberikan energi ekstraguna mengikuti aktivitas pemanasan Ramadhan. Disini kita leluasa bertarawih, tilawah Quran, sahur, shadaqah dan lainnya. Tapi kita harus waspada karena segala kemungkinan ibadah di fase ini sepenuhnya masih merupakan warming-up. Kita tidak boleh berpuas diri dan kita harus terus melakukan lobi-lobi ruhaniyah kepada Allah agar diberikan kekuatan mengikuti Ramadhan hingga fase kedua, yaitu fase maghfirah.

Fase kedua adalah fase maghfirah. Pada fase ini orbit ruhani mukmin sudah meninggi. Ia makin merasakan belai lembut kasih Allah atas dirinya. Dalam hatinya makin bersemi benih kecintaan dan kerinduan kepada Allah. Dalam hatinya ada satu pukulan lembut yang menimbulkan getaran baru, takut, harap dan cemas kepada Allah. Ia melakukan recovery atas dirinya. Suasana ini hanya akan dirasakan jika kita memang menyediakan ruang untuk itu. Tarbiyah Ramadhan seorang mukmin di fase ini ditandai dengan makin tegas dan rutinnya kebiasaan hasanah seorang mukmin. Ia makin sadar bahwa sukses atau tidaknya training ini sepenuhnya ditentukan oleh dirinya sendiri. Kucuran maghfirah dari Allah hanya dapat dirasakan oleh orang yang menyadari bahwa dalam dirinya ada banyak perbuatan yang bermasalah yang harus segera dimohonkan ampun kepada Allah. Maghfirah hanya berlaku bagi mereka yang tahu bahwa dirinya banyak cela yang harus diperbaiki.

Fase ketiga adalah itqum minan nar (bebas dari neraka). Fase ini adalah fase pelepasan namun yang sukses pada fase ini adalah mereka yang menyadari bahwa dirinya sangat tidak berdaya dihadapan Tuhannya. Ia merasakan kesendirian yang tak mungkin sukses tanpa bantuan Rabb-nya. Disinilah Rasul melewati hari-harinya dengan banyak i’tikaf. Banyak hal yang dilakukan dalam i’tikaf, tapi yang paling penting adalah proses permenungan yang besar tentang dirinya, potensi yang dimiliki, tugas yang harus dikerjakan, serta final dari segala aktifitasnya. Disinilah hatinya tergetar untuk kemudian menyadari bahwa perubahan hanya akan terjadi jika ia mulai dari dirinya sendiri. Perubahan harus segera dilakukan. Oleh karena waktunya sangat sedikit, sama singkatnya dengan habisnya waktu Ramadhan. Masa training ini diakhiri dengan kalimat seragam “Allahu Akbar”.

Manusia mukmin peserta training Ramadhan akan mengakhiri Ramadhan dengan kesadaran yang utuh bahwa ia sangat tidak berdaya jika Allah tidak menyayanginya. Dan untuk mendapat sayang Allah, maka ia harus melakukan perbaikan atas dirinya. Sampai sejauh mana dia dapat melakukan perbaikan akan sangat tergantung dengan persiapan yang dimilikinya.

Bahasa Kita Sama: “Lapar”

Mungkin kita tidak menyadari ini bahwa di dalam puasa kita dilatih untuk mempelajari dan memahami bahasa yang sama yaitu lapar. Lapar adalah bahasa yang sangat manusiawi. Kita dianjurkan untuk memberikan ifthor (buka) kepada orang yang berpuasa, tanpa disertai syarat bahwa itu harus diberikan kepada orang yang miskin. Artinya kita dianjurkan untuk memberikan buklaan kepad mereka yang kaya aatau miskin, berpangkat atau tidak, cantik atau jelek, tua atau muda, dimana mereka memakai bahasa yang sama dengan kita yaitu lapar.

Orang puasa juga diingatkan bahwa yang ditahan bukanlah hanya laparnya semata, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu. Cobalah kita mengubah ruang kesadaran kita. Bayangkan kita sedang berpuasa dan sore ini akan berbuka hanya dengan segelas air. Kemudian kita sholat maghrib, membaca Quran, sholat isya dan tarawih, kemudian mendengarkan pengajian, tadarus Quran dan akhirnya tidur. Selanjutnya tatkala kita terbangun untuk makan sahur, hanya ada air putih dan sepotong roti bagi kita. Bagaimana perasaan kita? Kita akan sulit mampu merasakan hal ini karena kita memang tidak pernah mampu mengendalikan hawa nafsu. Bagaimana bisa sementara kita masih berbuka dengan sepiring nasi lengkap yang untuk ukuran kaum miskin bisa untuk mereka sekeluarga?

Kita sebenarnya sedang diajari untuk menghitung semua nikmat yang diberikan oleh Allah. Berapa harga mobil kita, pakaian, rumah dan perhiasan? Tidakkah kita sadar bahwa kita masih teramat miskin dibandingkan dengan Sang Pemberi Nikmat?

Dengan bahasa lapar, orang bisa membunuh karena lapar. Sedang yang lain menjajakan dirinya juga karena lapar, sementara yang lain mati karena lapar. Disisi lain masih banyak manusia yang mengalami lapar iblis. Lapar kekuasaan, lapar kekayaan, lapar kesenangan dan lapar lainnya yang berisikan kedzaliman.

Binalah Diri, Waktu Kita Sedikit

Kita harus memiliki pemahaman yang utuh tentang makna Tarbiyah Ramadhan. Pemahaman itu meliputi apa yang disuruh, apa yang dijanjikan-Nya dan apa pula yang harus kita persiapkan. Puncak pencapaian Ramadhan adalah ketaqwaan. Dan itu baru kita dapatkan ketika kita memahami siapa diri kita sendiri. Kita tidak dituntut untuk melakukan ketaqwaan semu, tetapi ketaqwaan murni yang muncul dari dalam diri kita sendiri.

Tidak ada komentar: